Anak Jadi Saksi Bullying, Ini yang Harus Dilakukan Orang Tua
Reporter
Mitra Tarigan
Editor
Mitra Tarigan
Minggu, 24 September 2017 14:26 WIB
TEMPO.CO, Jakarta - Peristiwa perundungan masih marak di kalangan anak-anak. Tak jarang ada pengalaman anak yang menjadi saksi dalam kejadian perundungan yang dialami temannya. Apakah si anak perlu membela dan atau lebih baik diam saja?
Peneliti psikologi Universitas Indonesia, Ratna Djuwita mengungkapkan, anak-anak yang berani membela atau membantu teman lainnya yang mengalami perundungan tergantung dari tingkat efikasi dirinya. Efikasi adalah kemampuan untuk mencapai tujuan atau hasil yang diinginkan, termasuk kemampuan mengatur situasi.
Seseorang yang memiliki efikasi tinggi dapat mengorganisasi diri maupun kelompoknya. Selain tingkat efikasi diri dan komunitas, kebahagiaan psikologis turut memengaruhi seseorang untuk berani mengintervensi kasus kekerasan. “Bagi saksi, pandangan kelompok jadi patokan. Namun, semakin tinggi kebahagiaan psikologis, semakin tinggi efikasi diri saksi, akhirnya semakin tinggi pula kesediaan saksi untuk menolong korban,” ujarnya.
Saksi, lanjutnya, akan menolong korban jika dia merasa bahwa kehidupannya berjalan baik dan bermakna serta mendapat dukungan dari komunitas sekolah. Lalu, bagaimana sebaiknya sikap orang tua ketika menghadapi anaknya yang menjadi saksi dalam peristiwa perundungan?
Ratna mengatakan sebaiknya orang tua perlu memastikan bahwa sekolah dapat secara serius merespons peristiwa perundungan, seperti memiliki kebijakan yang tegas terkait kasus ini. Pastikan pula dipastikan bahwa sekolah berupaya untuk memperkuat kekerabatan siswa melalui kegiatan yang melibatkan siswa dari berbagai tingkat.
Orang tua dapat menganggap semua siswa adalah anaknya, sehingga dia perlu melaporkan jika mengetahui kejadian perundungan, walaupun yang menjadi korban bukan anaknya. “Pastikan anak-anak punya tempat lapor yang aman. Ubah mindset anak bahwa melaporkan teman yang melakukan perundungan adalah mengkhianati. Sebaliknya, itu menyelamatkan teman,” katanya.
Pembiasaan sikap yang prososial perlu terus ditanamkan hingga mengakar, baik di ranah keluarga maupun sekolah. Sikap prososial adalah sikap tolong-menolong, dalam hal ini menyelamatkan orang lain. Dalam perilaku prososial, tanamkanlah sikap empati. Ajak anak untuk membayangkan dirinya berada di posisi korban. “Sikap prososial hubungannya dengan emosi. Semakin tinggi empati, maka biasanya keterlibatan sebagai pelaku atau saksi perundungan juga semakin rendah,” ujar Ratna.