Rawan Gangguan Jiwa, Perlindungan Mental Pekerja Masih Minim
Reporter
Tempo.co
Editor
Mitra Tarigan
Minggu, 28 Januari 2018 14:08 WIB
TEMPO.CO, Jakarta - Pekerja ekonomi kreatif digital disebut-sebut rentan mengalami gangguan jiwa. Mereka dituntut bekerja setiap saat.
Kesadaran terhadap kesehatan mental pekerja masih terbilang minim. Tindakan preventif dan promotif untuk masalah tersebut juga masih belum maksimal. Sebab, gangguan jiwa masih dianggap sebagai sesuatu yang tabu, memalukan, dan membawa aib. Sehingga banyak yang masih belum mengakui pemburukan kesehatan mental.
“Konseling itu bukan berarti gila. Stigma di masyarakat, kalau sakit mental artinya gila,” ujar psikolog Danika Nurkalista, dalam acara seminar bertajuk "Kesehatan Mental bagi Pekerja Ekonomi Digital" dalam festival WorkLifeBalance di Gedung Joang ’45 yang diadakan Serikat Pekerja Media dan Industri Kreatif untuk Demokrasi (Sindikasi).
Baca: Heboh (Lagi) Video Viral, Hati-hati Memilih Pengasuh Bayi
Banyak undang-undang yang telah mengatur keselamatan kesehatan psikis pekerja, seperti Pasal 8 Undang-Undang Keselamatan Kerja Nomor 1 Tahun 1970, yang mengatur tentang pengawasan terhadap kesehatan pekerja, baik kesehatan badan maupun mental. Namun pelaksanaannya masih belum dilakukan dengan baik oleh perusahaan.
Menurut keterangan Nur Aini, Koordinator Divisi Koordinasi Serikat Pekerja Media dan Kreatif untuk Demokrasi (Sindikasi), timnya telah menyuarakan masalah ini ke Kementerian Ketenagakerjaan. Hasilnya, Kementerian mengakui pihaknya belum banyak berperan dalam tindakan preventif bagi kesehatan mental.
Baca: Meghan Markle Lihat Kamera, Kate Middleton Sebaliknya, Artinya?
Adapun Badan Penyelenggara Jaminan Sosial Ketenagakerjaan juga mengakui BPJS masih mengedepankan program untuk fisik. Sebab, masalah mental masih belum terdeteksi mengingat banyaknya masyarakat yang masih menutupinya karena ada stigma tentang kesehatan mental di tengah masyarakat.
Sindikasi telah melakukan focus group discussion dengan melibatkan pekerja industri kreatif dan media. Hasilnya, mayoritas pekerja memiliki tingkat stres tinggi dan mereka tidak mendapatkan tindakan preventif dari pihak perusahaan. Pekerja kreatif menyatakan masih kesulitan menangani masalah kesehatan jiwa.
Baca: Kangkung Mengandung Zat Psikotropika? Intip Faktanya
Dibutuhkan pemahaman dan komitmen bersama yang serius antara penyelenggara kerja dan para pekerja untuk mewujudkan ekosistem kerja yang sehat dan kondusif. Selama ini, mayoritas perusahaan lebih mementingkan tes kesehatan fisik pekerja. Padahal pemeriksaan kesehatan mental di awal dan secara berkala juga penting bagi pekerja serta perusahaan, salah satunya untuk memonitor performa kerja pegawai dari waktu ke waktu.
“Tes kesehatan (mental) yang berkala sangat jarang di perusahaan. Padahal kesehatan mental seharusnya diperiksa minimal dua bulan sekali. Pengawasannya masih sangat minim,” ujar Nur Aini.
Baca: Pasca-Anestesi: Begini Menyadarkannya, Ada Halusinasi Seksual?
Menurut Sudi, Kepala Seksi Pengawasan Norma Pengendalian Penyakit Akibat Kerja Kementerian Ketenagakerjaan, perusahaan wajib menyediakan dokter yang memiliki sertifikat dari kementerian. Dokter perusahaan harus mampu menganalisis risiko pekerjaan dari segi medis dan nonmedis. Hal tersebut juga telah diatur dalam Surat Keputusan Direktur Jenderal Pembinaan Hubungan Perburuhan dan Perlindungan Tenaga Kerja.
MAGNULIA SEMIAVANDA HANINDITA