Pentingkah Mengukur Tidur dari Jam Tangan Pintar?
Reporter
Nur Alfiyah
Editor
Mitra Tarigan
Sabtu, 26 Mei 2018 08:45 WIB
TEMPO.CO, Jakarta - Perkara jam tangan pintar kerap membuat dokter Andreas Prasadja keki. Beberapa kali ia didatangi pasien yang membawa data dari jam tangan pintarnya. Pasien merasa tidurnya bermasalah berdasarkan hasil aplikasi pelacak tidur di jam tangan tersebut.
Dokter yang berpraktik di Sleep Disorder Clinic Rumah Sakit Mitra Keluarga Kemayoran, Jakarta Pusat, ini pernah kedatangan suami-istri yang mengeluh tidurnya tak beres. Mereka menyodorkan data pelacak tidur yang diukur jam tangan. "Katanya, durasi tidurnya tak cukup, tidur dalamnya hanya sebentar," ucap Andreas, Sabtu pekan lalu. Baca: Boleh Buka Puasa dengan Es dan Gorengan? Ini Kata Dokter
Ia mengatakan ada perbedaan penghitungan antara jam tangan tersebut dan tidur yang sebenarnya. Namun, karena pasien lelaki ngotot merasa ada masalah dengan tidurnya, Andreas menyarankan sang pasien memeriksakan tidurnya dengan polisomnografi, tes yang teruji bisa mendeteksi gangguan tidur. Hasilnya, durasi tidur lelaki itu baik-baik saja. Andreas menyebutkan pasiennya itu mendengkur ringan, tapi masih dalam batas normal. "Mungkin oleh aplikasi ini dengkuran tersebut tak masuk tidur dalam, padahal sebenarnya dia sudah masuk fase deep sleep," katanya.
Dokter spesialis saraf Rimawati Tedjakusuma punya cerita lain. Beberapa bulan lalu, ia didatangi pasien yang membawa data dari aplikasi pelacak tidur. Pasien lelaki 30-an tahun itu heran karena masih merasa mengantuk dan kelelahan sepanjang hari. Tapi data yang diberikan aplikasi pelacak tidurnya berbeda. "Gadget-nya bilang durasi tidurnya sudah cukup, tapi kok masih ngantuk," ujar Rimawati, yang berpraktik di Rumah Sakit Medistra, Jakarta. Hasil pemeriksaan polisomnografi menunjukkan pasien itu menderita obstructive sleep apnea alias henti napas saat tidur. Baca: Menggoda Anak Soal Pacaran, Dampaknya Anak Merasa Boleh Menikah
Masalah pasien yang membawa data hasil rekam tidur ini tak hanya terjadi di Jakarta. Di kota-kota besar di negara maju, jumlahnya jauh lebih banyak dengan problem lebih beragam. Karena baru terjadi beberapa tahun belakangan, masalah ini digolongkan ke dalam penyakit tidur baru. Kelly Glazer Baron dari Rush University Medical School, Chicago, serta Sabra Abbott, Nancy Jao, Natalie Manalo, dan Rebecca Mullen dari Feinberg School of Medicine, Northwestern University, Chicago, menamakan gangguan tersebut sebagai orthosomnia, gangguan tidur akibat mencari kesempurnaan tidur berdasarkan data dari alat pelacak tidur.
Dalam artikel yang dipublikasikan di Journal of Clinical Sleep Medicine, mereka menyebutkan sekitar sepuluh persen warga Amerika Serikat menggunakan gawai untuk melacak kebugaran. Menurut mereka, makin banyak orang mendiagnosis sendiri bahwa tidurnya bermasalah berdasarkan alat perekam tidur itu. Keluhannya antara lain durasi tidur tak cukup, insomnia, dan tidur gelisah. Baca: Suka Membaca? Intip 5 Buku Rekomendasi dari Bill Gates Ini
Namun, ketika dokter menunjukkan hasil pemeriksaan polisomnografi atau actigraphy-peranti yang juga sudah teruji untuk memeriksa tidur para pasien itu malah tak percaya bahwa kualitas tidur mereka sebenarnya baik-baik saja. "Untuk para pasien, data sleep tracker sering terasa lebih konsisten dengan pengalaman tidur mereka dibanding teknik yang sudah teruji," kata para penulis tersebut. Baca: Hobi Bertanam tapi Kurang Lahan? Coba Tanam di Terarium
Menurut Andreas, fenomena orthosomnia ini mulai terjadi dalam dua tahun belakangan. Masalah itu biasanya menyerang orang yang sangat peduli terhadap kesehatan. Di negara maju, orang sudah mulai sadar bahwa tidur merupakan fondasi utama kesehatan. "Kalau kualitas dan kuantitas tidurnya jelek, keseimbangan nutrisi dan olahraganya juga jelek," ujarnya. Karena itu, selain menjaga pola makan dan aktif berolahraga, mereka mengamati pola tidur
MAJALAH TEMPO