Ilustrasi orang merokok, Jakarta, Rabu, 15 Pebruari 2006. [TEMPO/ Fransiskus S.; Digital Image; 20060215]
TEMPO.CO, Jakarta - Masih soal penyakit GERD alias Gastroesophageal Reflux Disease. Penyakit yang ditandai dengan sensasi nyeri di ulu hati atau rasa terbakar di dada akibat naiknya asam lambung menuju esofagus ini masih asing bagi mayoritas masyarakat Indonesia. Akibatnya, banyak mitos dan fakta seputar penyakit GERD yang beredar. Antara lain, soal kebiasaan merokok. Banyak yang masih beranggapan rokok membahayakan jantung dan paru-paru. Tidak ada sangkut pautnya dengan lambung. Benarkah?
Spesialis Penyakit Dalam Dr Ari Fahrial Syam dari Yayasan Gastroenterologi Indonesia (YGI) menjelaskan, kebiasaan merokok secara langsung merusak esofagus. "Gas yang kita hirup, termasuk asap rokok, itu memicu pembengkakan di lambung. Saat lambung mengembung, risiko terkena penyakit GERD otomatis meninggi," terang Ari kepada tabloidbintang.com di Jakarta, belum lama ini.
Selain rokok, Ari menyayangkan kebiasaaan masyarakat Indonesia mengkonsumsi makanan cepat saji. Ari menyebut komponen makanan cepat saji itu sebagian besar adalah lemak. Lemak, termasuk keju dan cokelat, membuat pengosongan lambung melambat.
"Fast food sesuai dengan namanya, dimakan dengan terburu-buru dan orang yang memakannya tidak mempersiapkan lambung mereka dengan baik. Makanan tidak terkunyah dengan maksimal dan itu membuat lambung bekerja lebih lama. Ini meningkatkan risiko terkena penyakit GERD. Saya sarankan menu dengan gizi seimbang. Selain itu, makanlah setelat-telatnya dua jam sebelum tidur. Untuk pasien penyakit GERD, ia harus tidur menggunakan bantal yang lebih tinggi," ulasnya.