Info di Internet Picu Bunuh Diri? Ini Catatan untuk Orang Tua
Reporter
Tempo.co
Editor
Susandijani
Sabtu, 15 Desember 2018 06:25 WIB
TEMPO.CO, Jakarta - Kasus bunuh diri sepertinya tak pernah membiarkan kita tenang dalam kehidupan sesehari. Selalu saja ada kisah yang pilu terjadi. Beberapa menyebutkan informasi yang berseliweran di internet bisa menjadi pemicunya. Benarkah?
Baca juga: Tidur Kurang dari 6 Jam Picu Risiko Bunuh Diri? Intip Risetnya
Kepala Koordinator Into The Light Indonesia, Benny Prawira, tak sepaham dengan itu. Disebutkannya bahwa akses ke informasi mengenai bunuh diri ini memang bisa digunakan untuk percobaan bunuh diri. Tapi dalam upaya mewujudkan pemikiran bunuh diri ke percobaan bunuh diri itu tak sekadar masalah pengetahuan dan akses ke metode aja, meski itu memang mendorong wujudkan si pemikiran bunuh diri itu.
“Masih ada lagi faktor, contohnya kepribadian yang impulsif. Ketika seseorang punya kepribadian impulsif, maka dia akan cenderung mewujudkan pemikiran bunuh dirinya ke percobaan bunuh diri,” ujarnya kepada TEMPO.CO, Jumat , 14 Desember 2018.
Benny juga menyebutkan bahwa pada kepribadian yang impulsifnya tinggi, dorongan untuk lepas dari rasa sakitnya itu sangat kuat dan tak bisa dikendalikan oleh orang yang bersangkutan,. “Semakin impulsif, semakin toleran rasa sakit, dan semakin tidak takut akan mati,” katanya.
Baca juga: Ramai Berita Bunuh Diri, Jangan Anggap Lebay Sebuah Keluhan
Menurut Benny, berbagai pencegahan sebetulnya bisa dilakukan. Terutama oleh orang tua. “Orang tua sebaiknya menjaga kondisi anaknya agar tidak depresif. Sehingga kalau lihat konten terkait yah tak langsung mikir ini cara yang baik untuk lari dari rasa sakit,” katanya.
Berikutnya, bagaimana caranya mencegah bunuh diri pada anak yang sudah mengalami depresi?
<!--more-->
Luangkan waktu berkualitas serta bicarakan kondisi emosi anak, bukan sekadar masalah prestasi, kesibukan sehari-hari dan gengsi saja.
“Saya pikir orang tua juga perlu lebih melek dengan teknologi. Bukan hanya dalam aspek negatifnya tapi juga positifnya serta cara mengelolanya pada anak-anaknya,” katanya serus.
Ya, alih-alih orang tua menyalahkan gadget atau internet sebagai penyebab, mungkin kata Benny , ada baiknya orang tua berefleksi selama ini cara pengasuhan dan pengawasannya sudah benar belum? Sudah memberi informasi yang tepat belum? Sudah mengajarkan konsekuensi buka ini itu dari informasi XYZ belum? “Karena bagaimana pun itu tanggung jawab personal si orang tua, lebih baik mengelolanya daripada menyalahkan internet atau gadget semata, kata serius.
Benny juga menyarankan jika sang anak sudah mengalami depresi, sangat disarankan agar orang tua untuk lebih memahami dan mengawasi kondisi anaknya yang berbeda itu.
“Tapi bukan berarti otoriter yah. Lebih compassionate dalam menanyakan kondisi anak, apa yang diterima hari ini, mengajarkan berpikir logis atau kritis sekaligus mengajarkan bahwa it's ok to feel vulnerable and seek help, sehingga anak terbiasa mandiri berpikir mengelola informasi dan juga berkomunikasi soal masalah emosional ke orang tuamereka, terutama di saat depresinya muncul,” katanya.
Karena menurut Benny, yang dibutuhkan mereka saat depresif adalah didengarkan dan dipahami. Bukan ceramah atau nasihat, supaya jadinya pemikiran bunuh diri dapat lebih diatasi dengan baik dan tidak jadi percobaan bunuh diri.
Baca juga: Pria Lebih Rentan Bunuh Diri Paska Putus Cinta? Cek Sebabnya