Dokter Sayangkan Obat Kanker Kolorektal Ini Dihapus dari BPJS
Reporter
Tempo.co
Editor
Mitra Tarigan
Selasa, 5 Februari 2019 06:00 WIB
TEMPO.CO, Jakarta - Perhimpunan Dokter Spesialis Bedah Digestif Indonesia (IKABDI) tidak sejalan dengan rencana Badan Penyelenggara Jaminan Sosial (BPJS) Kesehatan menghapus jaminan terhadap dua obat terapi bagi pasien kanker kolorektal stadium IV (kanker usus besar) yaitu bevacizumab dan cetuximab.
Baca: Deteksi Dini Kanker Usus, Peluang Sembuh Sampai 90 Persen
Menurut Sekretaris Jenderal Perhimpunan Dokter Spesialis Bedah Digestif Indonesia (IKABDI), A Hamid Rochanan obat bevacizumab dan cetuximab akan dikeluarkan dari Fomularium Nasional. Sehingga para pasien kanker kolorektal tidak bisa lagi mendapatkan pelayanan pemberian obat itu secara gratis. "Rencana itu ada, tetapi belum disosialisasikan," kata Hamid seperti dikutip Antara pada pertengahan Januari 2019.
Hamid menyatakan, selama ini dua obat kanker kolorektal yang akan dihapus ini terbukti cukup efektif membantu penanganan dan penyembuhan pasien kanker kolorektal. Oleh karena itu, Hamid menyayangkan rencana pemerintah untuk menghapus obat kanker kolorektal dari tanggungan dalam Jaminan Kesehatan Nasional yang dijalankan BPJS Kesehatan jika hanya dilatarbelakangi masalah kekurangan anggaran.
"Belum lama ini saya atas nama perhimpunan mengirimkan surat kepada Kementerian Kesehatan untuk mempertanyakan rencana penghapusan penjaminan obat kanker kolorektal ini. Kami lalu diundang oleh Kemenkes dan kami pun menjelaskan efektivitas obat yang selama ini dipakai untuk menangani pasien kanker kolorektal. Dari sana melihat intinya adalah keberatan dana," kata Hamid.
Kanker kolorektal adalah jenis kanker yang tumbuh pada usus besar. Menurut Riset Kesehatan Dasar 2013, kanker ini penyebab kematian terbesar kedua untuk pria dan ketiga untuk wanita. Data Globocan 2012 menunjukkan kanker kolorektal di Indonesia dialami oleh 12,8 per 100 ribu penduduk usia dewasa dengan tingkat kematian 9,5 persen dari seluruh kanker.
Dokter Spesialis Bedah dan Ahli Kanker Saluran Cerna (digestive)dari Rumah Sakit Dharmais, Fajar Firsyada, mendukung pendapat Hamid. Fajar mengatakan pasien kanker kolorektal berhak mendapatkan pelayanan terbaik. Pemberian obat bevacizumab dan cetuximab diberikan kepada pasien dengan stadium III akhir atau stadium IV dalam layanan terapi target. Dalam terapi target, obat hanya akan menyerang sel kanker dan bukan sel sehat. Sehingga hasilnya lebih maksimal dan efek sampingnya minimal. Selain pemberian obat dalam layanan terapi target, pasien juga tetap mendapatkan layanan kemoterapi. "Kalau ditambah pelayanan terapi target, akan efektif menambah usia," kata Fajar kepada Tempo pada 24 Januari 2019.
Menurut Fajar, penambahan usia pada masing-masing pasien berbeda. Rata-rata obat itu bisa menambah umur selama 1 tahun bagi pasien. "Bila (perpanjangan usia pasien) satu-dua tahun juga kan bisa memberikan kesempatan bagi pasien untuk bertobat atau menjalin silaturahmi kepada keluarganya," kata Fajar.
Dari segi biaya, memang pemberian obat dalam terapi target itu lebih mahal dibanding hanya pemberian layanan kemoterapi. Layanan kemoterapi bagi pasien stadium 3 kira-kira akan memakan biaya Rp 10-15 juta persiklus. Bila dilanjutkan dengan pemberian terapi target dengan obat bevacizumab dan cetuximab jumlahnya bisa membengkak menjadi Rp 30-40 juta persiklus. "Pemberian kemoterapi biasanya enam kali siklus, dan pemberian layanan terapi target maksimal 12 kali siklus," kata Fajar.
<!--more-->
Fajar menambahkan, bila dana yang menjadi masalah, ia menyarankan pemerintah memberikan pengaturan ketat kepada dokter dan rumah sakit yang memberikan layanan terapi target dengan obat itu. "Misalnya, hanya rumah sakit tipe A saja yang boleh, dan dokter dengan kompetensi tertentu saja yang boleh memberikan obat itu. Selama ini, rumah sakit dan dokter spesialis penyakit dalam hanya menambah kurus, lalu boleh mengerjakan layanan terapi target itu. Makanya membuat budget BPJS membengkak," katanya.
Baca: Cegah Kanker Usus dengan 6 Langkah Ini
Seleksi dengan aturan rumah sakit dan kompetensi dokter, ia yakin bisa membuat pemberian obat itu lebih terkontrol. "Kalau larangannya dipukul rata seperti ini kan susah," katanya.
Larangan penggunaan kedua obat itu tercantum dalam Keputusan Menteri Kesehatan Republik Indonesia Nomor HK.01.07/Menkes/707/2018 tentang Perubahan atas Keputusan Menteri Kesehatan Nomor HK.01.07/659/2017 tentang Formularium Nasional. Aturan larangan ini berlaku sejak 1 Maret 2019.
Anggota Cancer Information and Support Center, Valencia Maria Usman ikut menyayangkan aturan obat yang tidak lagi ditanggung BPJS. Menurutnya, pemberian terapi target kepada pasien kanker, khususnya kanker kolorektal, memberikan efek yang lebih baik. Valencia sering mendengar teman-temannya anggota CISC mengalami masalah ekonomi setelah menderita penyakit kanker. "Kalau sudah terdiagnosis kanker, seseorang bisa mengalami kebangkrutan, hilang potensi dan bahkan meninggal," katanya.
Ia menekankan bahwa akses pengobatan terbaik itu penting bagi pasien. "Kalau kita sudah sakit, pasti ingin penanganan optimal. Orang sakit itu pasti sudah down, bila obat yang dibutuhkan juga sulit diakses, pengobatannya semakin tidak maksimal," katanya.
Salah satu survivor kanker kolorektal, Ahmad Badri, juga mengatakan bahwa obat itu sangat membantunya bertahan. "Kalau bisa, pengobatan jangan dikurangi, harapan sembuh kami saja sudah minim," kata Ahmad yang sudah sempat menggunakan kedua obat layanan terapi target itu. Ahmad sudah bertahan selama 6 tahun sebagai penyintas kanker kolorektal.
Baca: Mengenal Kanker Usus, Penyakit yang Diderita Istri Ustaz Maulana
Juru bicara BPJS Kesehatan Anas Iqbal Ma'ruf mengatakan obat yang ditanggung BPJS semua yang dicantum dalam formularium nasional dalam Keputusan Menteri Kesehatan. Dalam aturan terbaru itu, menurut Iqbal, hanya obat bevacizumab yang dihapus dari formularium nasional. "Kalau cetuximab masih ditanggung BPJS. Tapi ada kriteria khusus yang harus dipenuhi oleh pasien kanker yang menggunakan obat itu. Hal ini berlaku 1 Maret 2019," kata Iqbal saat dihubungi 4 Februari 2019.