Seberapa Efektif Masker Buatan Sendiri Tangkal Virus?

Reporter

Antara

Senin, 13 Juli 2020 11:11 WIB

Ilustrasi bertamu mengenakan masker. Shutterstock

TEMPO.CO, Jakarta - Pakai masker adalah salah satu cara untuk menghindari penularan COVID-19. Masker N99 dan N95 memang paling jitu dalam menangkal paparan virus berdasarkan banyak penelitian. Bagaimana dengan masker buatan sendiri?

Amanda Wilson, kandidat doktor ilmu kesehatan lingkungan di Universitas Arizona, Amerika Serikat, melakukan penelitian bersama rekan-rekannya mengenai efektivitas penggunaan masker di lingkungan terkontaminasi. Dalam Journal of Hospital Infection, mereka memaparkan hasil studi risiko seseorang terpapar virus akan sangat tergantung pada masker yang dikenakan dan berapa lama berada di lingkungan terkontaminasi.

Ketika para peneliti membandingkan memakai masker dengan tidak menggunakan perlindungan selama paparan virus 20-30 detik, mereka menemukan risiko infeksi berkurang 24-94 persen atau 44-99 persen, tergantung pada masker dan durasi paparan. Pengurangan risiko menurun ketika durasi paparan meningkat.

“Masker N99, yang bahkan lebih efisien dalam menyaring partikel udara daripada masker N95, jelas merupakan salah satu opsi terbaik untuk memblokir virus karena dapat mengurangi risiko rata-rata sebesar 94-99 persen untuk paparan 20 menit dan 30 detik," jelasnya.

"Tetapi, masker jenis itu bisa sulit didapat dan ada pertimbangan etis seperti membiarkan tersedia bagi para profesional medis,” kata Wilson, dikutip dari Scitech Daily.

Advertising
Advertising

Selain N99 dan N95, para peneliti juga menguji masker dari bahan lain yang di antaranya banyak dibuat sendiri di rumah maupun industri rumahan. Menurut studi, masker dari bahan seperti sejenis penyaring teh, kain katun-campuran, dan sarung bantal antimikroba adalah yang terbaik berikutnya untuk perlindungan.

Kain selendang, yang mengurangi risiko infeksi sebesar 44 persen setelah 30 detik dan 24 persen setelah 20 menit dan kaus katun efektivitasnya hanya sedikit lebih baik daripada tidak memakai masker sama sekali.

"Kami tahu masker berfungsi, tetapi kami ingin tahu seberapa baik dan membandingkan berbagai efek bahan pada hasil kesehatan," kata Wilson, yang berspesialisasi dalam penilaian risiko mikroba kuantitatif.

Wilson dan timnya mengumpulkan data dari berbagai penelitian tentang efektivitas masker dan menciptakan model komputer untuk mensimulasikan risiko infeksi dengan mempertimbangkan berbagai faktor.

“Salah satu komponen besar risiko adalah berapa lama di lingkungan terpapar. Kami membandingkan risiko infeksi pada 30 detik dan 20 menit di lingkungan yang sangat terkontaminasi," katanya.

Kondisi lain yang berdampak pada risiko infeksi adalah jumlah orang di sekitar dan jarak antarmanusia.

Ukuran tetesan pengangkut virus dari bersin, batuk, atau bahkan bicara juga merupakan faktor yang sangat penting. Tetesan yang lebih besar dan lebih berat membawa virus keluar dari udara lebih cepat daripada tetesan yang lebih kecil dan lebih ringan. Itulah salah satu alasan jarak membantu mengurangi paparan.

"Ukuran aerosol juga dapat dipengaruhi oleh kelembaban," kata Wilson. “Jika udaranya lebih kering, maka aerosol menjadi lebih cepat lebih kecil. Jika kelembaban lebih tinggi, maka aerosol akan tetap lebih besar untuk periode waktu yang lebih lama."

"Itu mungkin terdengar bagus pada awalnya, tapi kemudian aerosol itu jatuh di permukaan dan objek itu menjadi rute paparan potensial lainnya,” lanjutnya.

Penelitian ini juga menunjukkan semakin banyak waktu yang dihabiskan seseorang dalam lingkungan di mana virus hadir, masker menjadi kurang efektif.

"Itu tidak berarti melepaskan masker setelah 20 menit," kata Wilson, "Tetapi itu berarti bahwa masker tidak dapat mengurangi risiko menjadi nol. Jangan pergi ke bar selama 4 jam dan berpikir berisiko nol karena Anda mengenakan masker. Tetap di rumah sebanyak mungkin, sering-seringlah mencuci tangan, memakai masker saat keluar dan jangan menyentuh wajah."

Masker melindungi pemakainya dan orang lain dalam sejumlah cara berbeda. Wilson mengatakan ada dua cara intuitif masker menyaring aerosol, intersepsi mekanik dan impaksi inersia.

“Semakin padat serat suatu material, semakin baik saringannya. Itu sebabnya jumlah utas yang lebih tinggi mengarah pada kemanjuran yang lebih tinggi," katanya.

"Tetapi, beberapa masker, seperti yang terbuat dari sutra, juga memiliki sifat elektrostatik, yang dapat menarik partikel yang lebih kecil dan mencegah mereka melewati masker juga," lanjutnya.

Model yang dikembangkan oleh Wilson dan rekan-rekannya termasuk parameter seperti tingkat inhalasi, volume udara yang dihirup dari waktu ke waktu, dan konsentrasi virus di udara.

"Kami mengambil banyak data penelitian, memasukkannya ke dalam model matematika dan menghubungkan titik-titik data itu satu sama lain," kata Wilson.

Wilson juga mengatakan penting bagi masker untuk memiliki segel yang baik yang menjepit di hidung, dan dia mencatat bahwa orang tidak boleh memakai masker di bawah hidung atau menyelipkannya di bawah dagu ketika tidak digunakan.

"Penggunaan masker yang tepat sangat penting," kata Wilson. “Selain itu, kami fokus pada masker yang melindungi pemakainya tetapi paling penting untuk melindungi orang lain di sekitar jika Anda terinfeksi. Jika menempatkan lebih sedikit virus di udara, Anda menciptakan lingkungan yang kurang terkontaminasi di sekitar."

Berita terkait

Belum Ada Kasus Virus B di Indonesia, Kemenkes Tetap Minta Waspada

19 hari lalu

Belum Ada Kasus Virus B di Indonesia, Kemenkes Tetap Minta Waspada

Kemenkes menyatakan hingga kini belum terdeteksi adanya risiko kasus Virus B di Indonesia namun masyarakat diingatkan untuk tetap waspada

Baca Selengkapnya

Waspada Flu Singapura Menjangkit Anak-anak, Ini 6 Cara Pencegahannya

20 hari lalu

Waspada Flu Singapura Menjangkit Anak-anak, Ini 6 Cara Pencegahannya

Flu singapura rentan menjangkit anak-anak. Flu ini juga dengan mudah menular. Bagaimana cara mengantisipasinya?

Baca Selengkapnya

BRIN Kembangkan Teknologi Biosensor Portabel Pendeteksi Virus Hingga Pencemaran Lingkungan

20 hari lalu

BRIN Kembangkan Teknologi Biosensor Portabel Pendeteksi Virus Hingga Pencemaran Lingkungan

Pusat Riset Elektronika BRIN mengembangkan beberapa produk biosensor untuk mendeteksi virus dan pencemaran lingkungan.

Baca Selengkapnya

Spesialis Paru Ungkap Beda Flu Singapura dan Flu Musiman

24 hari lalu

Spesialis Paru Ungkap Beda Flu Singapura dan Flu Musiman

Dokter paru ungkap perbedaan antara Flu Singapura atau penyakit tangan, mulut, dan kuku dengan flu musiman meski gejala keduanya hampir mirip.

Baca Selengkapnya

Penularan Flu Singapura di Indonesia Meluas, IDAI: Data Pastinya Tak Bisa Dijelaskan

26 hari lalu

Penularan Flu Singapura di Indonesia Meluas, IDAI: Data Pastinya Tak Bisa Dijelaskan

Diyakini kalau seluruh kasus Flu Singapura di Indonesia menginfeksi anak-anak. Belum ada kasus orang dewasa.

Baca Selengkapnya

Ketahui Penyebab dan Proses Penularan Virus Demam Berdarah

27 hari lalu

Ketahui Penyebab dan Proses Penularan Virus Demam Berdarah

Demam berdarah disebabkan oleh salah satu dari empat jenis virus dengue yang berbeda.

Baca Selengkapnya

Fakta Seputar Flu Singapura, Kemenkes: Awal Maret Ribuan orang Terjangkit

28 hari lalu

Fakta Seputar Flu Singapura, Kemenkes: Awal Maret Ribuan orang Terjangkit

Flu Singapura memiliki gejala yang hampir menyerupai cacar air, virusnya hanya memerlukan waktu inkubasi 3-6 hari untuk menyerang imunitas tubuh.

Baca Selengkapnya

Kenali Gejala Demam Berdarah dan Bahaya yang Mengintainya

28 hari lalu

Kenali Gejala Demam Berdarah dan Bahaya yang Mengintainya

Demam berdarah (DBD) dapat menyebabkan pendarahan serius, penurunan tekanan darah tiba-tiba, bahkan berujung pada kematian.

Baca Selengkapnya

Waspada Demam Berdarah Menjelang Libur Hari Raya Idul Fitri

31 hari lalu

Waspada Demam Berdarah Menjelang Libur Hari Raya Idul Fitri

Seorang individu tidak hanya berisiko terkena demam berdarah dengue (DBD), tetapi juga berpotensi menyebarkan virus dengue apabila telah terinfeksi.

Baca Selengkapnya

Leptospirosis Penyakit Langganan Musim Hujan, Seberapa Berbahaya?

32 hari lalu

Leptospirosis Penyakit Langganan Musim Hujan, Seberapa Berbahaya?

Leptospirosis adalah penyakit yang kerap muncul setiap musim hujan, terutama di daerah yang rawan banjir dan genangan air. Seberapa berbahaya?

Baca Selengkapnya