Susah Rawat Penyakit Langka, Indonesia Butuh Laboratorium Khusus

Reporter

Antara

Editor

Mitra Tarigan

Senin, 12 Oktober 2020 10:54 WIB

ilustrasi pasien (pixabay.com)

TEMPO.CO, Jakarta - Salah satu upaya agar anak-anak dengan penyakit langka bisa segera mendapatkan perawatan untuk menyelamatkan nyawa mereka ialah melalui penegakan diagnosa yang dini. Namun, sayangnya Indonesia belum memiliki satu pun laboratorium diagnostik khusus untuk penyakit ini. “Di Indonesia betul-betul tidak ada yang bisa menegakkan diagnostiknya, karena tidak ada, kami berusaha mengadakan diagnostik ini di IMERI Research Cluster: Human Genetic Research Center (laboratorium genetik) untuk penyakit langka karena pasien banyak,” kata Kepala Pusat Penyakit Langka RSUPN dr. Cipto Mangunkusumo, Damayanti Rusli Sjarif dalam webinar bertajuk #CareforRare, Minggu 12 Oktober 2020.

Menurut Damayanti, selama ini dia bekerja sama dengan sejumlah laboratorium global antara lain National Taiwan University, Malaysia hingga laboratorium di Australia untuk mendapatkan konfirmasi diagnosis pasiennya. Pemeriksaan ini menelan biaya tak sedikit, di Malaysia misalnya, bisa mencapai Rp 15 juta untuk satu pasien.

Di sisi lain, waktu yang dibutuhkan untuk mendapatkan diagnosis dari laboratorium luar negeri relatif lama dibandingkan jika bisa dilakukan di Indonesia. Untuk mendapatkan hasil pemeriksaan dari Malaysia, membutuhkan waktu sekitar dua minggu. Sementara jika bisa dilakukan di Indonesia, dokter dan pasien hanya memerlukan waktu satu hari.

Padahal, pasien perlu segera mendapatkan diagnosis agar mendapatkan pengobatan dini dan tertolong. Kasus pasien bayi perempuan bernama Gloria asal Kupang, Nusa Tenggara Timur (NTT) pada November 2019 menjadi contohnya. Gloria yang akhirnya terdiagnosis Galactosemia tipe 1 (pasien tidak punya enzim Galt, sehingga galaktosa menumpuk pada tubuh dan merusak hati, ginjal dan mata) harus menjalani pemeriksaan genetik hingga Jerman. Hasil ini didapatkan setelah satu bulan dan biaya yang dibutuhkan mencapai Rp13 juta.

Walaupun memerlukan waktu sebulan, Gloria bisa tertolong karena segera mendapatkan pengobatan. Kini, dia tumbuh seperti anak-anak sehat seusianya. “Gloria, yang didiagnosa Galactosemia Type 1 yang menyebabkan tubuhnya bereaksi negatif ketika menerima laktosa. Saat ini tumbuh kembangnya membaik dengan mengkonsumsi susu formula asam amino bebas yang nol galaktosa,” ujar Damayanti.

Advertising
Advertising

Berkaca pada kasus ini, Damayanti yang juga dokter spesialis anak, nutrisi dan penyakit metabolik itu menegaskan, walau disebut langka, bukan berarti tidak ada obat untuk penyakit itu. “Padahal anak-anak kalau ditolong, obatnya ada. Tidak semua penyakit langka obatnya mahal, ada yang sederhana dan tersedia di Indonesia. Saya punya pasien yang dengan obat yang ada d Indonesia untuk penyakit lain dia bisa (hidup dengan) baik,” tutur Damayanti.

Selain masalah diagnosis, keterbatasan biaya karena belum ditanggung Jaminan Kesehatan Nasional juga menjadi tantangan tatalaksana pada pasien penyakit langka. Selama ini, Damayanti dan tim mengupayakan penggalangan dana dari para donatur.

Dia juga mengupayakan agar pembiayaan pengobatan penyakit langka bisa dibantu melalui BPJS, apalagi mengingat saat ini kebanyakan keluarga pasien yang ditangani di RSCM berasal dari kalangan ekonomi menengah ke bawah.

Dari sisi pengadaan obat, Ketua Yayasan MPS dan Penyakit Langka Indonesia, Peni Utami menuturkan, selama ini dia menjalin kerja sama dengan Badan Pengawas Obat dan Makanan (BPOM) bea cukai dan sejumlah perusahaan farmasi. “Kami memohon pada BPOM, bagian pajak sehingga tidak ada lagi pembayaran pajak. Kami bekerja sama dengan perusahaan-perusahaan farmasi, Alhamdulillah sampai saat ini dilancarkan,” kata dia.

Penyakit langka merupakan penyakit yang jumlah penderitanya tak banyak, tergantung negara dan fasilitas untuk mendiagnosis. Di Eropa, disebut penyakit langka jika jumlah kasusnya 1 di antara 2000 penduduk, sementara di Amerika Serikat 1 di antara 1500.

Walaupun disebut langka, namun penyakit ini jenisnya bisa mencapai 8.000 dan bertambah 250 jenis baru setiap tahunnya. Damayanti mengatakan, 80 persen penyakit ini disebabkan kelainan genetik dan sekitar 65 persen menyebabkan masalah serius mulai dari kecacatan hingga kematian bagi penderitanya.

Selain itu, data menunjukkan sebanyak 50 persen terjadi pada anak dan 30 persen kematian anak di bawah usia lima tahun disebabkan penyakit langka yang tergolong bawaan ini. “Kabar baiknya, 5 persen sudah ada obatnya,” ujar Damayanti.

Di Indonesia, saat ini MPS atau Mucopolysaccharidosis tipe II menjadi jenis penyakit langka yang paling banyak ditemukan. Merujuk pada laman mpssociety.org, MPS tipe II muncul karena kurangnya enzim iduronate sulfatase.

Mereka yang terkena penyakit ini biasanya akan mengalami keterlambatan perkembangan dan masalah fisik. Pada bayi, tidak ada gejala yang tampak, namun seiring semakin rusaknya sel, maka tanda-tanda akan semakin terlihat seperti kegagalan perkembangan beberapa organ, bentuk wajah dan rangka tubuh tak normal.

Selain MPS tipe II, jenis penyakit langka lainnya juga ditemukan di Indonesia yakni Gaucher, Pompe dan Malabsorpsi Glukosa-Galaktosa (GSM). Untuk memastikan seorang anak mengalami penyakit langka termasuk MPS, dibutuhkan penegakan diagnosis yang tepat dan cepat. Setelahnya dokter baru bisa mengetahui jenis penyakit yang diderita bisa diobati atau tidak. “Cita-cita kami bisa diagnosis mandiri. Kalau ketemu diagnostiknya, kita bisa bicara obatnya,” kata Damayanti.

Berita terkait

Tikus Sering Menjadi Hewan Percobaan, Ternyata Ini Alasannya

2 hari lalu

Tikus Sering Menjadi Hewan Percobaan, Ternyata Ini Alasannya

Biasanya, ketika melakukan penelitian dalam dunia medis, peneliti kerap menggunakan tikus. Lantas, mengapa tikus kerap menjadi hewan percobaan?

Baca Selengkapnya

Upaya Kemenkes Atasi Banyaknya Warga Indonesia yang Pilih Berobat ke Luar Negeri

2 hari lalu

Upaya Kemenkes Atasi Banyaknya Warga Indonesia yang Pilih Berobat ke Luar Negeri

Ada sejumlah persoalan yang membuat banyak warga Indonesia lebih memilih berobat ke luar negeri.

Baca Selengkapnya

1 Juta Warga Indonesia Berobat ke Luar Negeri, Kemenkes: Layanan Kesehatan Belum Merata

2 hari lalu

1 Juta Warga Indonesia Berobat ke Luar Negeri, Kemenkes: Layanan Kesehatan Belum Merata

Jokowi sebelumnya kembali menyinggung banyaknya masyarakat Indonesia yang berobat ke luar negeri dalam rapat kerja Kemenkes.

Baca Selengkapnya

PBB: Butuh 14 Tahun untuk Bersihkan Puing-puing di Gaza

2 hari lalu

PBB: Butuh 14 Tahun untuk Bersihkan Puing-puing di Gaza

Serangan Israel ke Gaza telah meninggalkan sekitar 37 juta ton puing di wilayah padat penduduk, menurut Layanan Pekerjaan Ranjau PBB

Baca Selengkapnya

Konimex dan Indordesa Luncurkan Produk Baru Makanan Nutrisi FontLife One, Bidik Pasar Dewasa Muda

2 hari lalu

Konimex dan Indordesa Luncurkan Produk Baru Makanan Nutrisi FontLife One, Bidik Pasar Dewasa Muda

PT Indordesa-- anak perusahaan PT Konimex, meluncurkan produk makanan nutrisi dan perawatan kesehatan, FontLife One, di Kota Solo, Jawa Tengah.

Baca Selengkapnya

Istri Bintang Emon Disebut Positif Narkoba Setelah Konsumsi Obat Flu, Kok Bisa?

3 hari lalu

Istri Bintang Emon Disebut Positif Narkoba Setelah Konsumsi Obat Flu, Kok Bisa?

Bagaimana mungkin konsumsi obat flu bisa berdampak pada positif narkoba seperti yang dialami istri komika Bintang Emon?

Baca Selengkapnya

Aliansi Kecam Kehadiran Industri Plastik dan Kimia dalam Delegasi Indonesia untuk Negosiasi Perjanjian Plastik

3 hari lalu

Aliansi Kecam Kehadiran Industri Plastik dan Kimia dalam Delegasi Indonesia untuk Negosiasi Perjanjian Plastik

Kehadiran itu membahayakan tujuan perjanjian, yaitu mengatur keseluruhan daur hidup plastik untuk melindungi kesehatan manusia dan lingkungan.

Baca Selengkapnya

Sejak 2021, Jokowi 6 Kali Sampaikan Keresahan WNI Pilih Berobat ke Luar Negeri

3 hari lalu

Sejak 2021, Jokowi 6 Kali Sampaikan Keresahan WNI Pilih Berobat ke Luar Negeri

Presiden Joko Widodo atau Jokowi acap menyampaikan keresahannya soal warga negara Indonesia yang berbondong-bondong berobat ke negara lain, alih-alih dalam negeri.

Baca Selengkapnya

Autisme Tak Selalu karena Faktor Genetik dan Bukan Penyakit

3 hari lalu

Autisme Tak Selalu karena Faktor Genetik dan Bukan Penyakit

Orang tua tidak usah cemas jika memiliki anak yang mengalami gangguan spektrum autisme karena tak selalu karena genetik dan bukan penyakit.

Baca Selengkapnya

5 Penyebab Sulit Tidur pada Penderita Diabetes

4 hari lalu

5 Penyebab Sulit Tidur pada Penderita Diabetes

Ternyata lima masalah ini menjadi penyebab penderita diabetes sulit tidur.

Baca Selengkapnya