Memahami Eek, Mutasi Baru Virus Corona. Apa Dampaknya buat Vaksin Covid-19?
Reporter
Antara
Editor
Yayuk Widiyarti
Jumat, 9 April 2021 19:01 WIB
TEMPO.CO, Jakarta - Sudah tahu fakta soal Eek? Eek atau E484K adalah mutasi baru virus corona, pertama kali diidentifikasi di Afrika Selatan (B1351) dan Brasil (B1128), kemudian ditemukan di sejumlah wilayah, termasuk Jepang dan Indonesia. Pejabat kesehatan Jepang menemukan mutasi ini pada sekitar 70 persen pasien COVID-19 atau 10 dari 14 orang yang dites di rumah sakit Tokyo pada Maret 2021.
Di Indonesia, mutasi virus ini masuk sekitar Februari 2021. Guru Besar Paru dari Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia (FKUI), Prof. Tjandra Yoga Aditama, menyebut mutasi ini sesuatu yang mengkhawatirkan.
"Mutasi E484K ini oleh sebagian pakar disebut mutasi Eek, yang maksudnya sesuatu yang mengkhawatirkan dan merupakan sebuah peringatan. Ini terjadi karena mutasi ini tampaknya berdampak pada respons sistem imun," katanya.
Mutasi Eek memiliki kemampuan untuk menghindari kekebalan alami dari infeksi COVID-19 sebelumnya dan mengurangi perlindungan yang ditawarkan oleh vaksin saat ini. Dengan kata lain, Eek juga disebut mutasi "melarikan diri" karena mengubah bagian protein paku virus yang diandalkan sistem kekebalan untuk mengenali dan memulai tanggapan kekebalan.
Perubahan ini mungkin berarti dapat menghindari respons imun yang dipicu oleh vaksin atau infeksi sebelumnya. Mutasi E484K mengubah protein paku virus asli sehingga lebih mudah mengikat dan membentuk koneksi yang lebih kuat ke sel inang, membuatnya lebih menular. Tjandra mengungkapkan varian B117 virus corona bila ditambah mutasi E484K akan membuat tubuh perlu meningkatkan jumlah serum antibodi untuk dapat mencegah infeksinya.
Baca juga: Tanda Masker Medis Asli, Hindari yang Palsu
"Kita sudah sama mengetahui varian B117 memang sudah terbukti jauh lebih mudah menular sehingga kalau bergabung dengan mutasi E484K maka tentu akan menimbulkan masalah cukup besar bagi penularan COVID-19 di masyarakat," tuturnya.
Selain itu, mutasi E484K ini juga tampaknya akan memperpendek masa kerja antibodi netralisasi di dalam tubuh. Dengan kata lain, orang akan jadi lebih mudah terinfeksi ulang sesudah sembuh dari COVID-19. Lebih lanjut, karena pengaruhnya terhadap antibodi maka mungkin akan ada dampaknya pada efikasi vaksin. Tjandra dan pakar kesehatan lain masih akan menunggu hasil penelitian selanjutnya tentang bagaimana dampak terhadap efikasi vaksin.
"Perlu diketahui kalau memang nanti mutasi E484K dan atau mutasi atau varian baru lainnya memang akan membuat vaksin menjadi tidak efektif, maka pada pakar dan produsen vaksin akan dapat memodifikasi vaksin yang ada sehingga akan tetap efektif dalam pengendalian COVID-19," tutur Tjandra.
Lalu bagaimana dengan pencegahannya? Tjandra merekomendasikan orang-orang tetap menerapkan protokol kesehatan sambil petugas kesehatan melakukan penelusuran kontak intensif pada keadaan khusus. Kemudian, otoritas berwenang mengawasi kedatangan orang dari luar negeri dan meningkatkan jumlah pemeriksaan whole genome sequencing atau pengurutan keseluruhan genom untuk menentukan urutan DNA lengkap.