Kendala Penanganan TBC Resisten Obat, Ini Kata Pakar

Reporter

Antara

Rabu, 23 Juni 2021 19:10 WIB

Ilustrasi Tuberkulosis atau TBC. Shutterstock

TEMPO.CO, Jakarta - Pertengahan Juni 2021, dr. Siti Nadia Tarmizi, Direktur P2PML Kementerian Kesehatan Republik Indonesia mengatakan pemerintah memiliki enam strategi pembangunan kesehatan nasional yang tertuang dalam Rencana Pembangunan Jangka Menengah Nasional 2020-2024 sebagai upaya mengeliminasi TB pada 2030. Enam strategi tersebut adalah penguatan komitmen dan kepemimpinan baik pada pemerintah pusat dan daerah, peningkatan akses layanan TBC yang bermutu dan berpihak pada pasien, optimalisasi promosi dan pencegahan, memanfaatkan hasil teknologi, peningkatan peran komunitas, mitra dan multisektor, serta peningkatan tata kelola program dalam kaitannya peningkatan sistem kesehatan.

Tuberkulosis atau TBC sendiri adalah penyakit menular yang disebabkan kuman Mycobacterium tuberculosis, yang secara umum dapat diklasifikasikan ke dalam dua kategori, yaitu TBC Sensitif Obat (TBC SO) dan TBC Resisten Obat (TBC RO). TBC SO adalah kondisi di mana kuman Mycobacterium tuberculosis masih sensitif terhadap Obat Anti TB (OAT) dengan masa pengobatan selama kurang lebih 6-9 bulan, sedangkan pada TBC RO kuman Mycobacterium tuberculosis telah mengalami kekebalan terhadap Obat Anti TB (OAT).

Masa pengobatan bagi orang dengan TBC RO dapat berkisar antara 9-24 bulan. Berdasarkan Global TB Report 2020, diperkirakan terdapat 24.000 kasus TBC Resisten Obat (TBC RO) di Indonesia setiap tahun. Dari jumlah ini, berdasarkan data rutin Program Nasional Penanggulangan TBC, pada 2019 baru ditemukan 11.463 kasus TBC RO atau terdapat kesenjangan 52,5 persen dari perkiraan kasus yang ada.

Dari 11.463 kasus tersebut, hanya 5.531 atau 48,3 persen pasien yang sudah memulai pengobatan dengan angka keberhasilan pengobatan berkisar di antara 49-51 persen dan angka putus pengobatan 24-26 persen per tahun. Besarnya kesenjangan penemuan kasus dan sedikitnya orang dengan TBC RO yang memulai pengobatan menunjukkan masih banyak pasien yang belum dapat mengakses layanan dan diagnosis pengobatan.

Di sisi lain, besarnya angka putus pengobatan yang berada pada kisaran 24-26 persen turut mempengaruhi angka keberhasilan pengobatan dan meningkatnya risiko penularan TBC RO di masyarakat. Budi Hermawan dari organisasi nirlaba POP TB Indonesia memaparkan hambatan dan tantangan pasien TBC RO dalam mengakses layanan dan pengobatan. Kurangnya pengetahuan tentang gejala TBC membuat pasien tidak tanggap dalam berobat ketika muncul gejala-gejala tersebut.

Advertising
Advertising

"Pemahaman di masyarakat terkait TB masih jadi persoalan, ada anggapan bahwa TB penyakit yang tidak bisa disembuhkan," ujar Budi.

Dia berpendapat promosi Komunikasi, Informasi, dan Edukasi terkait TB oleh pemerintah terhadap masyarakat belum berjalan dengan baik. Faktor ekonomi juga berpengaruh besar. Persoalan ekonomi jadi salah satu penghambat pasien untuk mengakses layanan kesehatan dan membuat mereka malas kontrol.

"Kebanyakan pasien TB adalah kepala keluarga. Mereka memilih tidak melanjutkan atau memulai pengobatan yang cukup lama karena alasan ekonomi," jelasnya.

Kemudian, pasien tak cuma harus mengeluarkan biaya pengobatan. Ada juga pengeluaran tambahan karena proses pengobatan biasanya berlangsung lama. Pasien harus membayar biaya vitamin, transportasi, hingga pemenuhan makanan bernutrisi. Stigma yang masih melekat pada penyakit TBC membuat pasien enggan untuk terbuka dan memilih menyembunyikan penyakit, tidak mau berobat atau tidak melanjutkan pengobatan sampai tuntas.

Masalah stigma dan diskriminasi ini juga terjadi di lingkungan pekerjaan. Ada pasien TB RO yang kemudian dikeluarkan karena dianggap tidak produktif sebab pengobatan yang harus berlangsung rutin membuat mereka harus menyisihkan waktu untuk kontrol. Di sisi lain, pasien TB menganggap kasus diskriminasi merupakan konsekuensi, padahal dia menegaskan tuberkolusis adalah isu tentang Hak Asasi Manusia, sebab kesehatan adalah Hak Asasi Manusia.

Dilihat dari kesehatan, orang dengan TBC RO juga menghadapi tantangan efek samping dari pengobatan lini 2 bagi orang dengan TBC RO. Efek samping berat dari pengobatan lini 2 tersebut antara lain sesak napas, nyeri dada, jantung berdebar, lemah dan lesu berkepanjangan, gangguan pendengaran, hingga gangguan kejiwaan. Beberapa di antara efek samping tersebut dapat bersifat permanen.

Beratnya efek samping pengobatan lini 2 bagi orang dengan TBC RO, dan adanya potensi keberkepanjangan dari efek samping tersebut, berpotensi memiliki dampak terhadap fungsi sosial orang dengan TBC RO, seperti terhambatnya kemampuan berkomunikasi dan terganggunya aktivitas keseharian. Hal ini membuat orang dengan TBC RO perlu mendapatkan perhatian lebih, baik selama pengobatan maupun pasca-pengobatan, guna memitigasi dampak efek samping pengobatan bagi orang dengan TBC RO.

Baca juga: Pasien TBC Harus Disiplin, Bukan Cuma Sabar Menelan Obat yang Banyak dan Besar

Berita terkait

Top 3 Tekno Berita Hari Ini: Aksi Mahasiswa UGM Tuntut Transparansi, IPK 4,00 Hahasiswa Kedokteran Universitas Jember, 5 Penyakit Akibat Polusi Udara di Indonesia

2 menit lalu

Top 3 Tekno Berita Hari Ini: Aksi Mahasiswa UGM Tuntut Transparansi, IPK 4,00 Hahasiswa Kedokteran Universitas Jember, 5 Penyakit Akibat Polusi Udara di Indonesia

Topik tentang mahasiswa UGM menggelar aksi menuntut tranparansi biaya pendidikan menjadi berita terpopuler Top 3 Tekno Berita Hari Ini.

Baca Selengkapnya

Pasien Kanker Minim Pengetahuan Akibat Waktu Konsultasi Terbatas

10 jam lalu

Pasien Kanker Minim Pengetahuan Akibat Waktu Konsultasi Terbatas

Waktu konsultasi yang terbatas menyebabkan pasien kanker sering merasa bingung untuk memahami betul penyakitnya.

Baca Selengkapnya

Lima Besar Penyakit Akibat Polusi Udara di Indonesia, Apa Saja?

22 jam lalu

Lima Besar Penyakit Akibat Polusi Udara di Indonesia, Apa Saja?

Polusi udara yang erat kaitannya dengan tingginya beban penyakit adalah polusi udara dalam ruang (rumah tangga).

Baca Selengkapnya

Raja Charles III Siap Kembali Bertugas

5 hari lalu

Raja Charles III Siap Kembali Bertugas

Raja Charles III sudah mendapat izin dari tim dokter untuk kembali bertugas setelah menjalani pengobatan kanker.

Baca Selengkapnya

Jokowi Sebut RI Kehilangan Devisa Rp 180 Triliun karena Masyarakat Pilih Berobat ke Luar Negeri

8 hari lalu

Jokowi Sebut RI Kehilangan Devisa Rp 180 Triliun karena Masyarakat Pilih Berobat ke Luar Negeri

Presiden Joko Widodo atau Jokowi mengatakan bahwa Indonesia kehilangan devisa US$ 11,5 Miliar atau Rp 180 triliun per tahun. Apa sebabnya?

Baca Selengkapnya

Alasan Bawang Merah Tetap Diburu Meski Mahal

9 hari lalu

Alasan Bawang Merah Tetap Diburu Meski Mahal

Bawang merah merupakan komoditi penting yang dibutuhkan masyarakat. Apa saja manfaatnya untuk kesehatan?

Baca Selengkapnya

Waspadai Cuaca Panas Ekstrem di Musim Pancaroba, Dampaknya Bisa Sampai Ginjal

11 hari lalu

Waspadai Cuaca Panas Ekstrem di Musim Pancaroba, Dampaknya Bisa Sampai Ginjal

Jika orang kehilangan kontrol temperatur internal karena cuaca panas ekstrem, mereka mungkin akan mengalami berbagai masalah kesehatan.

Baca Selengkapnya

Epidemiolog: Cacar Monyet Berpotensi Jadi Penyakit Endemik di Indonesia

12 hari lalu

Epidemiolog: Cacar Monyet Berpotensi Jadi Penyakit Endemik di Indonesia

Epidemiolog Dicky Budiman menyatakan, infeksi cacar monyet berpotensi menjadi penyakit endemik karena minimnya penanganan.

Baca Selengkapnya

Pemeriksaan Kehamilan Rutin Bantu Cegah Penularan Sifilis dari Ibu ke Janin

12 hari lalu

Pemeriksaan Kehamilan Rutin Bantu Cegah Penularan Sifilis dari Ibu ke Janin

Penyakit sifilis bisa menular dari ibu yang terinfeksi ke janinnya melalui plasenta. Pemeriksaan kehamilan bantu mencegah penularan itu.

Baca Selengkapnya

Penyebab Pneumothorax yang Dialami Winter aespa

18 hari lalu

Penyebab Pneumothorax yang Dialami Winter aespa

Winter aespa menjalani masa pemulihan untuk penyakit pneumothorax, apa saja penyebab dan gejalanya?

Baca Selengkapnya