Tenang Isolasi Mandiri dengan Panduan Dokter Berikut
Reporter
Antara
Editor
Yayuk Widiyarti
Selasa, 31 Agustus 2021 09:55 WIB
TEMPO.CO, Jakarta - Ada beberapa hal yang harus diperhatikan pasien Covid-19 yang isolasi mandiri untuk memaksimalkan pengobatan. Spesialis penyakit dalam dr. Jeffri Aloys Gunawan, Sp.PD, mengatakan isolasi mandiri harus dilakukan dengan benar agar efektif. Persiapan yang harus dilakukan selama isolasi mandiri, baik untuk pasien tanpa gejala (10 hari isolasi mandiri) maupun bergejala ringan-sedang (10+3 hari), adalah logistik dan medis.
"Ingat, isoman perlu waktu cukup lama. Tidak bisa dilakukan tanpa persiapan. Pertama, siapkan kebutuhan pokok seperti makan, minum, cuci baju, dan lain-lain. Pemeriksaan medis jangan dilupakan," ujar Jeffri.
Memeriksa saturasi oksigen, suhu tubuh, dan tanda-tanda vital lain adalah hal penting yang perlu diperhatikan saat memutuskan untuk melakukan isolasi mandiri. Konsultasi ke dokter atau memanfaatkan layanan telemedisin juga harus dilakukan untuk memantau kemajuan penyembuhan.
Saat isoman, sebaiknya isolasi sendiri, tidak serumah dengan anggota keluarga yang lain. Tapi bila terpaksa serumah, sebisa mungkin harus terpisah, menggunakan kamar mandi berbeda. Menurut Jefrri, sangat disarankan untuk pergi ke tempat isolasi terpusat untuk melindungi keluarga dari risiko terpapar virus.
"Sebenarnya yang boleh isoman adalah yang tidak bergejala atau bergejala ringan. Mereka yang bergejala sedang, jadi tidak cuma demam atau batuk ringan tapi juga ada napas berat atau sesak, apalagi bila disertai penurunan saturasi oksigen, sebaiknya diperiksakan ke rumah sakit," jelas Jeffri.
Gejala sedang merupakan perbatasan antara gejala ringan ke berat. Pada pasien seperti ini, bila dilakukan foto toraks biasanya sudah ada gambaran infeksi paru sehingga harus dirawat di rumah sakit. Jika pasien COVID-19 ditemukan adanya pneumonia maka perlu terapi yang lebih agresif, yang diberikan via infus dan pemantauan yang lebih ketat.
Menurut Jeffri ada tiga fase COVID-19 dan sindrom pelana kuda, yaitu fase pertama, fase pulmonary, dan fase badai sitokin. Intinya, pengobatan harus dilakukan agresif sebelum masuk fase kedua atau fase pulmonary, apalagi jika sampai masuk ke fase ketiga atau badai sitokin. Pada orang dengan komorbid penyakit kronis seperti diabetes atau hipertensi dan lansia, risiko kematian akan meningkat enam kali lipat.
"Komorbid adalah salah satu indikasi untuk dirawat di rumah sakit. Terlebih bila komorbid lebih dari dua penyakit, maka dianjurkan untuk dirawat seperti pasien COVID gejala sedang. Namun, orang dengan komorbid boleh isoman bila kondisinya terkontrol dengan obat rutin," ujar Jeffri.
Selama isoman, orang dengan komorbid disarankan tetap rutin meminum obat dan memantau saturasi oksigen. Lansia biasanya minum banyak obat atau polifarmasi sehingga perlu dipantau oleh dokter berkaitan dengan obat yang harus dilanjutkan, yang perlu dihentikan dulu sementara, dan obat yang dosisnya perlu disesuaikan atau diganti.
Pada pasien diabetes misalnya, biasanya kadar gula darah naik karena COVID-19 sehingga memerlukan injeksi insulin. Bila minum polifarmasi, jangan ragu untuk konsultasi ke dokter.
Persediaan obat selama isoman biasanya menjadi perhatian pasien. Menurut Jeffri, sekarang banyak tersedia paket isoman yang dikemas dalam boks dan dilengkapi daftar obat beserta dosisnya.
"Kita harus kritis dan tahu, apa saja isinya. Jangan cuma terima paket dan langsung minum obatnya. Di dalam paket banyak sekali obat, bisa belasan," kata Jeffri.
Hal pertama yang perlu diperhatikan saat mengonsumsi obat selama isoman adalah cocokkan obat dengan daftarnya. Cek diri sendiri, Anda masuk dalam kategori mana, OTG, ringan, sedang, atau berat. Setelah itu cek pedoman yang sudah disusun. Untuk gejala ringan obatnya lebih sederhana, cukup vitamin C, D, zinc, juga vitamin B dan E. Terkadang ada obat yang ditambahkan, biasanya antivirus (favipiravir) dan mungkin juga antibiotik.
Namun, harus ada indikasinya dan biasanya ditemukan oleh dokter atau nakes. Untuk antibiotik, indikasinya yaitu infeksi sekunder, biasanya oleh bakteri H. influenza atau Strepococcus. Kedua bakteri ini sering menjadi infeksi oportunistik pasien COVID-19. Kalau ada tanda infeksi bakteri ini, apalagi ada tanda atipikal/tidak khas, boleh diberikan antibiotik dan biasanya azithromycin.
Jika ada gejala batuk, dahak, diperiksa dulu dengan pemeriksaan lab apus untuk mengetahui apakah ada kuman infeksi sekunder. Pada gejala berat juga diperlukan antivirus dan bisa dipertimbangkan antikoagulan (pengencer darah). Ini harus berdasarkan pertimbangan atau resep dokter dan tidak boleh sembarangan. Untuk gejala berat, juga diperlukan steroid. Biasanya jika ada penurunan saturasi oksigen, sehingga perlu oksigen.
Akan tetapi, Jeffri mengatakan ada salah kaprah mengenai hal ini. Di dalam paket isoman terdapat tablet steroid, padahal yang dianjurkan adalah infus steroid, bukan tablet. Untuk tablet steroid, bukti ilmiahnya untuk COVID-19 belum jelas. Terakhir, pastikan selalu berkonsultasi dengan dokter. Hal ini sudah sangat terbantu dengan adanya layanan telemedis sehingga memudahkan pasien untuk mendapat pantauan.
Baca juga: Yang Perlu Dilakukan Pasien Covid-19 saat Isolasi Mandiri