Kenali Mental Si Kaya dan Si Miskin Sejak Lahir
Editor
Hadriani Pudjiarti
Senin, 6 Oktober 2014 13:47 WIB
TEMPO.CO, Jakarta - Uang selalu menjadi topik bahasan yang tidak ada akhirnya. Hal ini juga yang kerap ditanyakan pada psikolog. “Klien saya banyak ngobrol soal anak, rumah tangga, tapi ujung-ujungnya adalah uang,” kata Roslina Verauli, psikolog yang biasa disapa Verauli, pekan lalu. (Baca: Makin Intelek Seseorang, Bahasanya Lebih Sederhana)
Menurut Verauli, pertanyaan itu selaras dengan pembahasan buku Psychology Applied to Modern Life-Adjustment in the 21 Century yang menyatakan saat ini uang merupakan sumber masalah psikologis: orang selalu merasa kekurangan uang, terlepas dari berapa pun pendapatan mereka.
Masalahnya, kebanyakan orang bersikap sinis dalam memandang kekayaan. “Kenapa mesti kaya, sih?” kata Verauli, menirukan pertanyaan banyak kliennya. Padahal orang itu sebenarnya tahu jawabannya.
Misalnya, Verauli banyak dihujani pertanyaan seperti berikut ini oleh kliennya yang lajang dan menunda pernikahan: “Siapa yang membiayai pernikahan?”, “Dari mana uang untuk beli rumah setelah menikah?”, dan “Apakah uang saya cukup untuk membiayai sekolah anak?”
Berikutnya: Seperti Apa Mental Miskin itu
<!--more-->
Pertanyaan seperti itu, dia melanjutkan, menunjukkan orang tersebut masuk kategori "si mental miskin". “Mental ini ada di orang yang suka bersenang-senang, gengsian, dan butuh dipuaskan hal yang bersifat prestise,” ujar psikolog yang berpraktek di Rumah Sakit Pondok Indah dan klinik PacHealth @The Plaza di Plaza Indonesia, Jakarta, ini.
Salah satu ciri si mental miskin, Verauli menambahkan, adalah mudah boros. Saban kali ada kejadian, dari kenaikan jabatan sampai dimarahi atasan, orang itu bersenang-senang. “Bisa juga dengan shopping,” ujar dia. Menurut dia, si mental miskin memiliki sikap kekanak-kanakan dalam pengaturan uang dan kerap terdorong keinginan sesaat dalam berbelanja.
Orang-orang seperti itu, Verauli menambahkan, sering terjebak dalam situasi treadmill hedonis, yaitu memeras keringat untuk mengejar kekayaan, tapi tidak beranjak ke mana-mana. Kondisi ini terjadi saat standar gaya hidup seseorang melonjak seiring dengan peningkatan pendapatan.
Misalnya, Si Badu bisa hidup anteng dengan Rp 2 juta per bulan saat pertama bekerja. Namun, seiring dengan kenaikan karier, dia malah berutang waktu gajinya mencapai Rp 20 juta. Maklum, dia butuh sepatu dan pakaian bagus dari desainer ternama. Perangkatnya juga kudu keluaran terbaru dari seri termahal. Paling gampang, ya lari ke kartu kredit. “Hasilnya, dia bukan tambah kaya, tapi jadi makin miskin,” ujar Verauli.
Berikutnya: Seperti Apa Mental Kaya itu
<!--more-->
Sebaliknya, si mental kaya (Baca: Hanya Jumlah Uang Ini Bisa Membeli Kebahagiaan) kerap menjalani hidup sederhana dan jauh dari gaya hedonistis. “Pemilik kepribadian ini menyukai proses menuju kaya dan menyadari tidak ada cara instan untuk mencapainya,” kata Verauli. Ciri khas pemilik kepribadian ini, dia menambahkan, adalah rajin mengelola kelebihan pendapatan—walau cuma seiprit—menjadi aset.
Verauli mengatakan mental si kaya dan si miskin bukan berasal dari bawaan lahir. “Ada dinamika yang membuat mental itu berkembang,” kata pengajar Magister Profesi Psikologi di Universitas Tarumanegara, Jakarta, ini.
Dia mengaku pernah memiliki mental miskin. “Setiap hari makan di mal,” kata Verauli. Namun, pertemuan dengan mendiang Liem Sioe Liong—yang pernah menyandang sebutan orang terkaya di Indonesia—beberapa tahun lalu mengubahnya. “Beliau menyarankan, kurangi makan di luar, kurangi liburan, dan perbanyak membaca buku yang menginspirasi kita mencapai hal positif.”
EVIETA FADJAR | HP
Terpopuler
Kue Kurma, Lengkapi Sajian Menu Idhu Adha
Kontrasepsi, Turunkan Angka Kematian Ibu dan Bayi
Dengan Makan Siang, Cairkan Komunikasi dan Hati