FEATURE: Generasi Baru Tionghoa Indonesia  

Reporter

Editor

Anton Septian

Minggu, 7 Februari 2016 16:14 WIB

Pertunjukan barongsai dengan lumba-lumba menyambut Imlek di Ocean Dream Samudra, Ancol, Jakarta, 3 Februari 2016. Menjelang Tahun Baru Imlek 2567, Ancol menyiapkan serangkaian acara dengan tema 'Red and Hope' untuk menghibur pengunjung. Pertunjukan tersebut akan berlangsung 6-8 Februari 2016. TEMPO/M Iqbal Ichsan

TEMPO.CO, Jakarta - Satu sosok yang begitu saja terlintas di pikiran tatkala menyinggung kiprah peranakan Tionghoa dalam kehidupan bermasyarakat dan ber-Indonesia di era keterbukaan ini, pastilah Basuki Tjahaja Purnama alias Ahok. Sebagai Gubernur DKI Jakarta, pria asal Belitung ini seperti menjadi simbol kian besarnya peranan warga Tionghoa dalam sendi-sendi kehidupan di Tanah Air.

Tentu saja banyak nama lain yang juga mencuat ke pengetahuan publik. Salah satunya, sebut saja, Setya Novanto, politikus Golkar mantan Ketua Dewan Perwakilan Rakyat. Beberapa tahun lalu khalayak juga mengenal Alvin Lie dari Partai Amanat Nasional (PAN).

Dari “angkatan” yang lebih terkini, kian banyak saja anak muda dari keluarga-keluarga Tionghoa yang berkiprah di berbagai bidang—tak lagi hanya di sektor bisnis seperti tradisi selama ini. Mereka juga beredar di ranah budaya hingga sektor pelayanan publik. Mari sebut beberapa di antaranya: Ernest Prakasa serta duet dokter TNI Angkatan Laut Christina Widosari dan Agustinus Riski Wirawan.

Chief Executive Kibar, Yansen Kamto, mengungkapkan fenomena tampilnya anak muda peranakan Tionghoa tak lepas dari tiga faktor: keterbukaan akses pendidikan, demokrasi yang semakin matang, dan pesatnya kemajuan teknologi. Kini, “Semua orang berhak berkreasi tanpa memandang suku, agama, maupun etnis,” ujar pria asal Pontianak ini.

Bahkan, Yansen mengungkapkan, peranakan Cina kini berupaya menampilkan wajah yang sama sekali berbeda dibanding citra sebagai pebisnis belaka. Hal itu memungkinkan lantaran tak ada lagi penghalang bagi pemuda peranakan Cina masuk ke sektor publik dan pemerintahan.
Penjelasan Yansen itu menemukan pembuktiannya pada sosok William, Taruna Akademi Militer, dan Christina Widosari, dokter TNI Angkatan Laut. Mereka sukses menembus ketatnya seleksi prajurit lewat jalur resmi.

Pencapaian seperti yang dilakukan William dan Christina itu, menurut Yansen, turut dipengaruhi tiga faktor yang dia sebutkan sebelumnya. Faktor itu yang membentuk pengawasan publik dan menghadirkan kepastian bahwa kompetisi akan berlangsung adil—tanpa bias suku, agama, dan ras. “Alhasil menilai seseorang bukan lagi dari warna kulit atau bentuk matanya, melainkan prestasi dan karya yang dikerjakan,” ujar bos perusahaan startup itu.

Pernyataan Yansen itu didukung oleh Ernest Prakasa, seorang pelawak tunggal. Ernest memilih jalur kesenian yang menurut dia punya peluang lebih besar untuk menyuarakan gagasan dan didengar masyarakat. Materi lawakan dan penyisipan adegan dalam film terbarunya yang berjudul Ngenest juga punya pesan perlawanan pada diskriminasi kelompok etnis Cina. “Dengan berkesenian, saya ingin sampaikan bahwa mencela kelompok etnis lain sudah bukan zamannya lagi,” kata pria 34 tahun itu.

Segendang seirama dengan Ernest, Ajun Komisaris Happy Saputra sukses membuktikan tekad pemerintah, khususnya kepolisian, untuk tak memandang kelompok etnis sebagai pertimbangan rekrutmen personel. Happy mengikuti rekrutmen taruna Akademi Kepolisian sembilan tahun lalu dan berhasil menyisihkan 1.000 kandidat seantero Jakarta. Dia menjadi salah satu dari 18 siswa asal Kepolisian Daerah Metro Jaya. “Tak ada sepeser pun uang yang saya keluarkan, kecuali untuk membeli meterai,” ujar Happy.

Menurut dia, obyektivitas kepolisian dalam menyeleksi calon personel telah didasarkan pada pertimbangan profesionalisme. “Kepolisian butuh anggota yang cakap, pandai, dan berperilaku santun. Bukan suku, agama, atau ras tertentu,” tuturnya.

Sebelum kemunculan anak muda peranakan Tionghoa yang cemerlang seperti Yansen, William, Ernest, dan Happy ini, generasi Tionghoa sebelumnya sudah berkiprah bagi negeri ini. Sebut saja pendekar hak asasi manusia Yap Thiam Hien, mantan menteri Kwik Kian Gie, dan sederet bintang-bintang bulu tangkis: Rudy Hartono, Liem Swie King, Susi Susanti, serta Alan Budikusuma. Masih banyak nama lain di berbagai bidang.

Sayangnya, pada era Soeharto, aneka rupa prestasi itu tertimbun oleh stigma bahwa orang Tionghoa tak akan jauh dari urusan dagang. Menurut Ivan Wibowo, penyunting buku Cokin? So What Gitu Loh: Pemikiran Muda Tionghoa, saat itu pemerintah memang sengaja memberi akses ekonomi yang luas kepada warga keturunan untuk menjaga stabilitas politik. “Pemerintah lebih ingin sumber ekonomi penting dikuasai warga Indonesia keturunan Cina ketimbang asing,” kata dia.

Adapun ekonom Emil Salim, seperti dikutip Abdul Baqir Zein dalam bukunya, Etnis Cina dalam Potret Pembauran di Indonesia, mencatat penguasaan ekonomi oleh kelompok etnis Cina berakar pada segregasi kelas dan kelompok etnis yang muncul sejak era kolonial.

Kompeni, menurut Emil, menempatkan warga keturunan Cina sebagai warga kelas dua di bawah bangsawan Eropa, sedangkan pribumi menjadi warga kelas tiga. Ditambah narasi sejarah G 30 S yang menyebut Cina sebagai sponsor Partai Komunis Indonesia, lengkaplah formula untuk menebar kebencian terhadap kelompok etnis Tionghoa.

Sejak itu, Emil menambahkan, seakan muncul pemeo: jika Anda bermata sipit, Anda tak punya tempat di republik ini. “Sadar hak politiknya hilang, maka peranakan Cina fokus menggeluti dunia bisnis,” kata dia.

Tapi itu narasi sejarah lampau. Zaman telah berubah. Tak ada lagi tempat bagi diskriminasi. Seperti kata Yansen, pemuda peranakan Tionghoa kini lebih banyak tampil bukan dengan dandanan perlente ala pebisnis. Namun ada juga yang mengenakan seragam loreng tentara hingga gaya kasual nyeleneh bak seniman. “Menjadi orang Cina tak melulu soal bisnis dan yang paling penting tetap ikut serta memajukan negeri ini,” ujar Yansen.

RAYMUNDUS RIKANG

Catatan:
Artikel ini terlebih dahulu terbit di Koran Tempo Akhir Pekan, edisi Sabtu, 6 Februari 2016, dengan judul Tak Lagi Hanya Berkutat di Bisnis.


Berita terkait

Sejarah Kue Keranjang yang Jadi Ciri Khas Tahun Baru Imlek

10 Februari 2024

Sejarah Kue Keranjang yang Jadi Ciri Khas Tahun Baru Imlek

Kue keranjang adalah salah satu makanan yang identik dengan Tahun Baru Imlek. Kue dari ketan yang manis ini ternyata sudah aja sejak 2.500 tahun lalu.

Baca Selengkapnya

Makna Sosial Kue Keranjang yang Jadi Ciri Khas Perayaan Imlek

10 Februari 2024

Makna Sosial Kue Keranjang yang Jadi Ciri Khas Perayaan Imlek

Kue keranjang, salah satu makanan khas Imlek, merupakan wujud nyata kerekatan warga lokal dan juga masyarakat Tionghoa.

Baca Selengkapnya

Asal usul Ritual Bakar Uang Arwah, Tradisi Etnis Tionghoa Saat Cheng Beng

4 April 2023

Asal usul Ritual Bakar Uang Arwah, Tradisi Etnis Tionghoa Saat Cheng Beng

Tradisi bakar uang arwah dipercaya dilakukan sejak zaman Dinasti Tang.

Baca Selengkapnya

Dirjen Kemendagri Apresiasi Peran PHIS dukung Pemerintah

7 November 2022

Dirjen Kemendagri Apresiasi Peran PHIS dukung Pemerintah

PHIS dan masyarakat Tionghoa diharapkan terus membantu pemerintah di bidang Ekonomi, Sosial Pendidikan.

Baca Selengkapnya

Masih Pandemi Covid-19, Ini Imbauan Merayakan Tahun Baru Imlek 2572

3 Februari 2021

Masih Pandemi Covid-19, Ini Imbauan Merayakan Tahun Baru Imlek 2572

Karena masih situasi pandemi Covid-19, masyarakat Tionghoa disarankan untuk merayakan Tahun Baru Imlek di rumah.

Baca Selengkapnya

Malam Ini, Prabowo Bertemu Pengusaha Tionghoa di Medan

22 Februari 2019

Malam Ini, Prabowo Bertemu Pengusaha Tionghoa di Medan

Prabowo akan bertemu dengan pengusaha dan warga tionghoa di Medan.

Baca Selengkapnya

Jokowi ke Masyarakat Tionghoa: Jangan Sampai ada yang Tak ke TPS

7 Februari 2019

Jokowi ke Masyarakat Tionghoa: Jangan Sampai ada yang Tak ke TPS

Jokowi meminta masyarakat Tionghoa menggunakan hak pilih.

Baca Selengkapnya

Jokowi Minta Masyarakat Tionghoa Gunakan Hak Pilih di Pemilu 2019

7 Februari 2019

Jokowi Minta Masyarakat Tionghoa Gunakan Hak Pilih di Pemilu 2019

Presiden Joko Widodo atau Jokowi meminta masyarakat etnis Tionghoa di Indonesia menggunakan hak pilihnya pada pemilihan umum 17 April 2019.

Baca Selengkapnya

Suasana Hari Raya Imlek di Wihara Lalitavistara Cilincing

5 Februari 2019

Suasana Hari Raya Imlek di Wihara Lalitavistara Cilincing

Turis mancanegara datang ke Wihara Lalitavistara untuk berwisata sekaligus menikmati semarak Imlek.

Baca Selengkapnya

Pengamanan Imlek 2019, Polda Metro Jaya Kerahkan 5.000 Personel

5 Februari 2019

Pengamanan Imlek 2019, Polda Metro Jaya Kerahkan 5.000 Personel

Pada perayaan tahun baru Imlek 2019, Polda Metro Jaya mengerahkan 5.000 personel untuk menjaga keamanan kegiatan pada hari ini.

Baca Selengkapnya