TEMPO.CO, Jakarta - Ada pernyataan wabah virus corona jenis baru atau COVID-19 akan berhenti ketika memasuki musim panas, mengingat trasmisi flu dan demam yang mirip seperti corona paling banyak terjadi pada musim gugur dan dingin. Laman Time mencatat salah satu alasan angka kejadian influenza dan demam merosot di musim panas karena cuaca yang hangat dan lembap dapat membuat droplet atau tetesan ludah sulit untuk menyebarkan virus.
"Tetesan yang membawa virus tidak tetap berada di udara lembap dan suhu yang lebih hangat menyebabkan degradasi virus yang lebih cepat," kata Elizabeth McGraw, direktur Pusat Penyakit Menular di Universitas Negeri Pennsylvania di Amerika Serikat.
Walau begitu, para ahli kesehatan tidak begitu yakin COVID-19, dapat dihentikan pada awal musim panas. Dr. Nancy Messionnier dari Pusat Pengendalian dan Pencegahan Penyakit di Amerika Serikat, mengingatkan agar tidak menganggap jumlah kasus akan melambat saat cuaca menghangat.
"Rasanya terlalu dini menganggap itu. Kami belum pernah melewati satu tahun pun dengan patogen ini," tuturnya.
McGraw mengatakan akan ada banyak faktor yang menentukan kapan dan bagaimana wabah berakhir.
“Tingkat penyebaran virus, efektivitas praktik pengendalian infeksi, cuaca, dan kekebalan manusia kemungkinan besar semua akan memainkan peran," katanya.
Selain itu, karena COVID-19 sangat baru, maka tidak ada kekebalan alami dalam populasi, kata Nicholls, ahli kesehatan dari Universitas Hong Kong. Orang juga perlu mempertimbangkan dua anggota keluarga virus corona mematikan lain, yakni SARS dan MERS, yang bisa menyebar saat musim panas.
"Wabah virus corona masa lalu, SARS dan MERS, belum benar-benar menunjukkan bukti yang jelas terjadi musiman. Wabah SARS memang berakhir pada Juli, tetapi tidak jelas apakah karena cuaca. MERS tidak menunjukkan tanda-tanda musiman," kata Bollyky.
Para ahli mengingatkan jika virus corona menjadi kurang aktif di musim panas, dia bisa kembali jika tidak ada kendali atas wabah.