TEMPO Interaktif, Jakarta: Dari Taman Sari, keputren, kasual, hingga kampuh. Semua senyawa muncul dari keagungan keraton. Bertempat di Gedung Vredenberg, Yogyakarta, Rabu pekan lalu, batik keraton menjelma garis mode modern, elegan nan mempesona.
Pada malam Fashion Dance & Cultural Gathering itu, sebanyak sembilan perancang kenamaan Yogyakarta, yakni Ninik Darmawan, Ari Sudewo, Manik Puspito, Dandy T. Hidayat, Lia Mustofa, Goeth dan Sani Poespo, Tommy Tri Wahyudi, Afif Syakur, serta Nita Azhar, menggelar karya buat merayakan hari jadi ke-252 Kota Yogyakarta. Rancangan anyar mereka terinspirasi dari kekayaan kultural Keraton Ngayogyakarta Hadiningrat dan eksistensinya sebagai pusat kebudayaan.
Ya, siapa tak kenal batik Keraton Yogyakarta. Warisan Keraton Yogyakarta yang cikal bakalnya dilestarikan Pangeran Mangkubumi atau bergelar Hamengku Buwono I ini mendapat tempat di hati para raja.
Dulu, di salah satu sudut Taman Sari yang dikenal sebagai tempat pemandian raja-raja dan area raja bercengkerama dengan permaisurinya, sang putri keraton juga belajar membatik. Raja kerap menyaksikan mereka.
Nama Taman Sari yang tersohor amat menarik hati tiga perancang, yang lalu menamai koleksi mereka masing-masing. Ninik Darmawan lewat "Damai Taman Sari", Ari Sudewo dengan "Taman Sari Kawung Pepujaning", dan Manik Puspito dengan "Taman Sari".
Pada sesi pertama, panggung dipenuhi musik hidup gending klonengan yang berpadu dengan musik modern oleh Bagus Mazasupa. Meluncurlah Ninik dengan detail bordir, berbahan sutra, organza, dan sifon dengan paduan kain batik. Karakter busananya feminin, kosmopolitan, dan etnik. Warna-warnanya cokelat tua, merah tua, dan kuning.
Lalu Ari dengan dominasi batik ceplok garuda berbahan batik kawung. Karakter desainnya, yang kasual serta smart casual dengan warna cerah dan putih, sangat pas untuk harian.
Manik melansir kebaya dengan gaya semikebaya tradisional, kemben, permainan lipit chifon, rok model pias, dan sarung. "Inspirasinya para putri Keraton masa itu berbaju tradisional dengan detail kain etnik tradisional serta model sederhana dan praktis," tutur Manik.
Sesi kedua bertema Keputran. Ide Dandy T. Hidayat mengandung dualisme karena terinspirasi oleh dilema aktivitas para putri. Di satu sisi harus patuh pada norma, di sisi lain dinamika yang menggelora. Lewat motif batik peralihan, mengalirlah motif kawung prabu, satria manah, nitik, dan parang rente. Kesan mewah mencuat dari warna soga, cokelat, off white, emas, dan hitam.
Lain lagi Goeth dan Sany Poespo. Budaya timur dan barat pada abad ke-18 saling mempengaruhi. Tengoklah busana dodot dengan leher terbuka, berpadu dengan gaya bustle serta crinoline/roccoco dari kerajaan Eropa.
Aura batik yang luar biasa mencuat saat rancangan Tomy Tri Wahyudi, Afif Syakur, dan Nita Azhar hadir di panggung. Misalnya Nita Azhar lewat koleksi yang dinamai "Kampuh". Kampuh adalah kain batik kuno yang hanya digunakan Hamengku Buwono VIII dan putri raja. "Itu pun untuk acara sakral dan keramat," ucap Nita.
Peragaan dipungkasi baju pengantin ala Nita Azhar. Kain kampuh yang panjangnya 4,5-5 meter dan lebarnya dua kali kain batik itu disulap menjadi adi busana hingga busana pengantin putri Jawa. Dia bilang, "Saya memang pantang memotong kain batik. Semuanya utuh."
Nita memadukannya dengan payet dan gin mirip sulam, tapi berbahan logam. Bagian tengah dibuat "blumbangan", yaitu belah ketupat putih yang tepinya dihiasi motif batik cemungkiran. Blumbangan menyebarkan filosofi air sebagai unsur kehidupan.
"Kampuh dikenakan secara berlapis yang punya arti menolak bala," kata Nita, yang sembilan karyanya dikagumi puluhan tamu yang hadir. Secara keseluruhan mereka puas. "Batik Yogyakarta sangat luar biasa. Sangat indah," kata Kazco Takamato.
Bernad Rurit