TEMPO.CO, Jakarta - Menjelang Pemilihan Umum 2024, media sosial kerap menjadi tempat meluapkan ujaran kebencian serta fitnah. Pengamat komunikasi digital dari Universitas Indonesia (UI) Firman Kurniawan mengatakan tokoh elit politik perlu berkontribusi memberikan contoh kepada masyarakat untuk menjunjung budi pekerti luhur dan saling menghormati terlebih dalam menggunakan media sosial.
"Menurut saya justru para elit, tokoh-tokoh politik, yang memberikan contoh kepada masyarakat menggunakan budi pekerti luhur dan menegakkan penghormatan kepada pihak lain," kata Firman.
Menurut Firman, maraknya ujaran kebencian serta fitnah disebabkan fasilitas internet yang memungkinkan penggunanya berbuat sebebas mungkin tanpa memikirkan konsekuensinya.
"Karakter media sosial itu sendiri yang membebaskan orang untuk ngomong apa yang mereka ingin omongkan kemudian juga ada fasilitas untuk anonimous, tidak menunjukkan namanya, sehingga merasa tidak ada konsekuensinya dari ucapan mereka," papar Firman.
Ia menilai maraknya ujaran kebencian dan perdebatan tidak sehat di media sosial menjelang Pemilu dapat menyebabkan masyarakat awam melihat media sosial sebagai tempat yang tidak nyaman untuk mendapatkan informasi.
"Mereka yang tidak terlalu berminat dalam urusan politik itu melihatnya menjadi sesuatu yang mengerikan. 'Wah event ini datang lagi, kemarin Pilkada 2017 di DKI, kemudian Pilpres 2019. Warnanya saling tarik-menarik dua kontestan, ini berarti 2024 datang lagi nih.' Jadi ada trauma kolektif atau rasa tidak nyaman dari publik melihat situasi yang semacam ini," ujar Firman.
Perbincangan sehat
Selain itu, perilaku-perilaku negatif di media sosial juga dapat berpengaruh terhadap kualitas demokrasi yang menurut Firman, tidak akan bergerak ke arah yang lebih baik.
"Ibaratkan ada orang yang belum dewasa terus diberi senjata yang sangat pamungkas dan tidak bisa menggunakannya dengan bijaksana. Ini yang terjadi, demokrasi kita menjadi semakin, katakanlah, tidak menyenangkan atau mungkin tidak meningkat kualitasnya," jelasnya.
Karena itu, untuk membangun demokrasi yang sehat, sebaiknya masyarakat menggunakan media sosial secara beretika dan bertanggung jawab, termasuk ketika sedang membahas Pemilu. Salah satunya dengan menyampaikan kelebihan calon pilihan melalui cara yang positif dan saling menghormati.
"Dalam demokrasi yang sehat semestinya gagasan kalau jagoan kita nanti diperkenankan menjadi penguasa atau terpilih untuk menjadi presiden atau legislatif, 'Ini loh keadaan yang akan diperbaik. Ini loh visi dan misi yang diperjuangkan.' Ketika pembicaraan seperti itu mengemuka maka atmosfer kompetitor juga seperti itu. Akhirnya yang ada dialektika terhadap gagasan," ujar Firman.
Sebelumnya, Presiden Joko Widodo dalam pidato di Sidang Tahunan MPR dan Sidang bersama DPR dan DPD tahun 2023 menyinggung tentang nilai budi pekerti dan sopan santun yang saat ini mulai hilang. Dia menilai di tengah perkembangan media sosial untuk berbagi informasi justru dimanfaatkan sebagian orang untuk berperilaku negatif yang dapat merusak nilai keluhuran budi pekerti bangsa.
"Kebebasan dan demokrasi digunakan untuk melampiaskan kedengkian dan fitnah. Polusi di wilayah budaya ini sangat melukai keluhuran budi pekerti bangsa Indonesia," tegas Presiden Jokowi.
Pilihan Editor: Budi Pekerti Anak Sekarang Semakin Tipis, Bagaimana Menghadapinya?