TEMPO.CO, Jakarta - Menurut Menteri Pendidikan Prancis, Gabriel Attal, larangan mengenakan pakaian abaya di sekolah Prancis terjadi pada hari pertama tahun ajaran baru. Pada 5 September 2023, ia mengungkapkan kepada BFM, ada sekitar 300 perempuan muncul pada Senin pagi dengan mengenakan abaya. Lalu, pihak sekolah menyuruh para perempuan tersebut melepaskan pakaiannya. Sebagian besar mereka setuju untuk melepas abaya, tetapi 67 orang menolak dan dipulangkan.
Pada Oktober 2023, pemerintah Prancis melarang penggunaan abaya dan jilbab di sekolah-sekolah. Sebab, penggunaan pakaian tersebut melanggar aturan sekularisme dalam pendidikan yang dinilai bentuk afiliasi keagamaan, termasuk salib Kristen besar dan kippa Yahudi. Pada Undang-Undang dari 2004, Prancis melarang "pengenaan tanda atau pakaian yang membuat siswa menunjukkan afiliasi agama" di sekolah.
Baca juga:
Terkait pakaian abaya, Attal mengungkapkan, para perempuan muslim yang menolak melepaskannya diberikan surat pengantar untuk keluarga mereka dengan pernyataan, "sekularisme bukan sebuah hambatan, melainkan kebebasan”.
Pakaian Abaya
Abaya adalah pakaian panjang, longgar, seperti jubah yang menutupi seluruh tubuh, kecuali wajah, tangan, dan kaki. Biasanya, abaya dikenakan oleh perempuan Muslim. Dipakai di atas pakaian sehari-hari, abaya biasanya dipasangkan dengan jilbab untuk menutupi rambut. Dengan abaya, perempuan dapat mengekspresikan identitas agama dan dedikasi untuk mengikuti pedoman atau ajaran Islam mengenakan pakaian sederhana.
Sementara itu, dalam lingkaran sosial yang lebih konservatif, abaya adalah bagian dari pakaian yang diharapkan sesuai dengan norma dan budaya sosial.
Mengacu theconversation, abaya pertama kali digunakan di Afrika Utara, tepatnya di kawasan Tanduk Afrika. Adapun, kawasan Tanduk Afrika meliputi beberapa daerah, seperti Somalia, Somaliland, dan Semenanjung Arab. Secara tradisional, abaya berwarna hitam atau gelap yang mencerminkan pendekatan konservatif. Namun, saat ini, desain dan estetika abaya dapat bervariasi antara wilayah dan komunitas.
Di beberapa tempat, abaya menampilkan sulaman rumit yang khusus untuk wilayah itu. Sementara itu, di tempat yang lain, pilihan kain dan gaya draping (pembuatan pakaian mengandalkan lipatan dan kerutan tanpa harus dijahit) dapat berbeda. Dengan perbedaan tersebut, perempuan lebih baik menyelaraskan abaya dengan preferensi mode regional. Variasi regional abaya menawarkan perempuan untuk mengekspresikan identitas budaya sambil menghormati norma-norma agama Islam.
Abaya juga memiliki variasi modern yang menawarkan spektrum warna luas dan desain inovatif. Bahkan, abaya variasi ini telah menjadi pernyataan mode. Abaya ini menawarkan keberangkatan dari gaya polos konvensional dan menggabungkan pola inovatif, seperti cetakan bunga dan desain geometris. Abaya variasi modern juga menggunakan hiasan logam, seperti ikat pinggang dan pin untuk menambah kesan esetetika sesuai perkembangan zaman.
Perempuan Muslim dapat menggunakan abaya sebagai sarana untuk terhubung dengan warisan budaya. Namun, pemakaian abaya juga mendapatkan kritik. Kritikus berpendapat bahwa pakaian religius seperti abaya mewakili bentuk kontrol agama atas tubuh wanita dan penguatan patriark. Kritik ini menggarisbawahi ketegangan praktik keagamaan dan hak individu dalam masyarakat multikultural.
Pilihan Editor: MA Prancis Tolak Banding Soal Larangan Abaya Muslim di Sekolah