TEMPO Interaktif, Jakarta -Desember lalu, Bunga kaget mendengar atasannya mengundurkan diri dari pekerjaan sebagai senior riset. Menurut gadis 25 tahun itu, bosnya mengundurkan diri lantaran memilih berbisnis madu. Bunga mengatakan si bos adalah karyawan yang bermental pengusaha. "Idenya banyak dan kreatif," ujarnya saat dihubungi, Jumat lalu.
Sebenarnya, menurut Bunga, pemicu keluarnya sang bos itu bukan karena ingin beralih menjadi pengusaha, melainkan kecewa karena pimpinan di atasnya kurang memberikan ruang pada inovasi dan kreasinya. Misalnya ketika mengusulkan perubahan tampilan dan model presentasi berbasis teknologi informasi ke perusahaan klien.
Sayang, usul itu kerap mentok di meja atasan. Meski mendapat teguran lantaran terlampau banyak ide yang di luar kebiasaan perusahaan, si bos tetap tak menyerah menyampaikan idenya. "Dia jarang mengeluh," kata Bunga. Namun ketahanan itu berakhir pada akhir tahun itu.
Konsultan manajemen dan psikologi, Haryo Utomo Suryosumarto, tak menampik banyaknya karyawan yang bermental pengusaha seperti atasan Bunga. Karakter yang ada pada figur karyawan seperti ini biasanya kreatif, banyak ide, pekerja keras, dan tidak gampang mengeluh. Karyawan bermental pengusaha ini merupakan bibit unggul yang seharusnya tak disia-siakan oleh perusahaan.
Haryo mengatakan, banyak perusahaan di Indonesia yang belum banyak mewadahi dengan baik karyawan yang bermental perusahaan. Perusahaan, kata dia, hanya berpikir bagaimana aturan dan budaya berjalan di kantornya. "Jadinya stagnan, kalaupun maju kurang cepat," ujarnya, Jumat lalu.
Baca Juga:
Menurut Haryo, pada dasarnya manajemen paling atas menginginkan perusahaan maju. Namun mereka tak menangkap bahwa karyawan bermental pengusaha mampu mewujudkan itu. Karena itulah, Haryo menilai, yang berperan besar membimbing dan mempertahankan karyawan bermental pengusaha adalah atasan yang langsung berada di atasnya. "Mereka yang bertanggung jawab sebagai direct supervisor," ujarnya.
Haryo mengatakan, sebagai bos harus jeli melihat kemampuan dan bakat anak buahnya, apalagi yang bermental pengusaha. Karyawan seperti ini tak perlu dianggap sebagai ancaman terhadap posisi jabatannya. "Beri mereka ruang berinovasi," katanya.
Dia mengatakan, inovasi paling banyak lahir dari karyawan yang banyak berhubungan dengan konsumen. Nah, kemampuan ini sering tidak dilihat oleh departemen yang mengurusi riset dan pengembangan. Karena itu, peran atasan menyampaikan kemampuan sang karyawan kepada manajemen paling atas tak boleh putus.
Peran direct supervisor ini, kata Haryo, sangat menentukan apakah karyawan betah atau tidak di perusahaan. "Jangan mengandalkan manajemen paling atas," tuturnya. Haryo menilai peran manajemen paling atas dalam melihat karyawan unggul sangat kecil. "Mereka lebih banyak memikirkan keberlangsungan perusahaan," katanya.
Menurut Haryo, jangan pernah memperlakukan karyawan bermental pengusahaan ini seperti orang yang tak bisa apa-apa. "Jangan memberi perintah terlampau detail," katanya. Haryo menilai bekerja sama dengan karyawan seperti ini cukup dengan memberikan haluan besarnya. "Sampaikan bahwa tujuannya seperti ini," katanya. Mengenai cara yang akan ditempuh, sebaiknya diserahkan kepada si karyawan.
Haryo mengingatkan agar jangan memanfaatkan ide karyawan untuk mengerek jabatan. "Jangan pernah mengakui ide dia sebagai ide sendiri," katanya. Sikap mengklaim seperti ini marak terjadi di beragam perusahaan. "Ini yang membuat karyawan mengundurkan diri," ujarnya.
l AKBAR TRI KURNIAWAN