TEMPO.CO, Jakarta - Sejumlah akademikus berupaya menghidupkan konsep Desakota. Desakota merupakan istilah akademis dalam studi geografi urban yang pertama kali diperkenalkan Terry McGee, pakar geografi dari University of British Columbia, Vancouver, pada 1990-an.
Sesuai dengan namanya, desakota diadopsi dari penelitian McGee di Indonesia. Saat itu Jabodetabek serta perpanjangan metropolitan Bangkok dan Manila menjadi contoh yang dikemukakan ilmuwan kelahiran Selandia Baru tersebut.
Menurut McGee, desakota merupakan daerah di luar wilayah peri-urban—daerah transisi kota ke desa—yang sangat mungkin digunakan sebagai tempat tinggal penglaju. Jaraknya dari pusat kota berkisar 30 hingga 50 kilometer. Cirinya antara lain ditandai dengan keberadaan wilayah tani yang masih luas serta padat penduduk. Desakota merupakan konsep wilayah multidimensional yang meliputi kesatuan entitas sosial, politik, budaya, hingga ekonomi.
Para akademikus--di antaranya Krill Office for Resilient Cities Architecture Eko Prawoto Architecture, Felixx Landscape Architects, Sigit Kusumawijaya Architect & Urbandesign, serta Firm SHAU dari Belanda--berupaya membangun konsep itu di Bantul. Daerah di selatan Yogyakarta itu masih punya persawahan yang cukup luas.
Bagi akademikus Bakti Setiawan dari Departemen Arsitektur Universitas Gadjah Mada, desakota punya ciri lain. “Kesatuan konsep ideologis menjadi satu ciri utamanya,” kata Bakti seperti ditulis Koran Tempo, Kamis, 17 September 2015.
Ideologi yang dimaksud Bakti merujuk pada karakter wilayah desakota yang terus-menerus dipertahankan. Dia mencontohkan Kasongan, Yogyakarta dan Batu di Malang, Jawa Timur. Keberadaan identitas semacam itu, dia melanjutkan, bisa menjadi modal untuk mengembangkan wilayah desakota sebagai entitas yang mandiri serta bisa menekan laju urbanisasi.
Arsitek Eko Prawoto menyebutkan proyek percontohan itu punya nama Proto Tamansari. “Ini sebenarnya pelesetan dari semboyan ‘Projo Tamansari’,” ujar Eko. Semboyan Kabupaten Bantul itu singkatan dari produktif-profesional, ijo royo-royo, tertib, aman, sehat, dan asri.
Sayangnya, desakota masih menjadi terminologi yang asing dalam perangkat hukum tata ruang di Indonesia. “Ini merupakan istilah yang relatif baru dan belum diadopsi pemerintah,” kata Direktur Perkotaan Kementerian Pekerjaan Umum dan Perumahan Rakyat Endra Atmawijaya.
Menurut Endra, konsep desakota bisa menjadi solusi untuk mencegah proses “metropolitanisasi”, wilayah pinggiran yang ketularan wabah beton kota dan tidak hijau lagi. Hilangnya area pertanian, ketidakseimbangan lingkungan, polusi, dan kemacetan merupakan contoh nyata perubahan daerah desakota menjadi kota yang tidak tertata.
SUBKHAN J. HAKIM