TEMPO.CO, Jakarta - Iklan itu bikin heboh di media sosial. Isinya promosi Zoya, yang menahbiskan diri sebagai kerudung bersertifikat halal pertama di Indonesia. Lengkap dengan cap Majelis Ulama Indonesia berikut wajah cantik aktris Laudya Cynthia Bella.
Zoya menyebutkan label halal diterapkan untuk proses pencucian kain yang menggunakan emulsifier—semacam pengembang—dari bahan tumbuhan. "Sedangkan untuk yang tidak halal emulsifier-nya menggunakan gelatin babi," demikian pernyataan mereka. Pengguna Internet pun terusik. "Kalau produk itu merupakan jilbab halal pertama, apakah yang lain haram?" Kira-kira demikian pertanyaan yang terlintas.
Direktur Lembaga Pengkajian Pangan, Obat–obatan, dan Kosmetika Majelis Ulama Indonesia, Lukmanul Hakim, merasa perlu meluruskan hal tersebut. Dia mengatakan MUI tidak pernah memberikan sertifikat halal bagi suatu merek jilbab. “Yang pernah kami beri adalah produsen kainnya,” katanya seperti ditulis Koran Tempo, Rabu, 10 Februari 2016.
Perusahaan kain yang Lukmanul maksud adalah PT Central Georgette Nusantara. Pabrik asal Cimahi, Jawa Barat, ini adalah pemasok bahan baku bagi Zoya. Sertifikasi dilakukan oleh MUI Jawa Barat.
Pemberian sertifikat halal untuk kain didasari kajian fikih tentang konsep halal yang berlaku universal. Menurut Lukman, ada empat golongan bahan pakaian. Pertama, bahan kain yang suci dan proses pengolahannya juga suci. Kedua, bahan suci tapi pengolahannya, seperti pembersihan, terkotori bahan yang mengandung zat najis.
Ketiga, bahan najis, tapi setelah melalui pengolahan menjadi suci. Contohnya material kulit yang berasal dari bangkai sapi. “Bangkai itu kan bahan yang haram. Tapi, setelah mengalami penyamakkan, kulit tersebut menjadi suci,” kata Lukman. Keempat, bahan yang material dasarnya haram, misalnya kulit babi.
Penggunaan sertifikat halal pada suatu produk diatur dalam Undang-Undang Nomor 33 Tahun 2014 tentang Jaminan Produk Halal (JPH). Beleid tersebut berlaku mulai 2019. Selama undang-undang tersebut belum berlaku, sertifikasi halal masih bersifat sukarela. “Saya menduga beberapa perusahaan mulai menempuh prosedur itu untuk mengantisipasi pemberlakuan Undang-Undang JPH,” kata Lukman.
Dalam sertifikasi, material yang diperiksa terdiri atas bahan baku, olahan, tambahan, dan penolong. Bahan-bahan tersebut biasanya berasal dari hewan, tumbuhan, serta mikroba atau bahan yang dihasilkan melalui proses kimiawi, biologi, atau rekayasa genetik.
Lalu, bagaimana dengan nasib kain yang tidak memiliki cap MUI? "Yang belum bersertifikat halal tidak berarti haram," kata Lukman.
CHETA NILAWATY