TEMPO.CO, Jakarta - Tragedi yang menewaskan tiga mahasiswa Universitas Islam Indonesia (UII) setelah mengikuti pendidikan dasar Mapala UII masih terus diusut. Apa pun hasilnya, kegiatan alam bebas tampaknya masih akan terus berdenyut. Juga kegiatan pendakian gunung yang kian hari makin banyak peminatnya.
Baca juga:
Ini yang Harus Anda Siapkan Sebelum Mendaki Gunung
Trekking Asyik Curug Bidadari-Gunung Pancar
Aktivitas Meningkat, Jalur Pendakian Gunung Dukono
Salah satu yang perlu menjadi perhatian dalam kegiatan pendakian gunung, adalah kemungkinan terjadinya serangan hipotermia. Merujuk ke berbagai artikel, hipotermia adalah kondisi darurat medis saat tubuh gagal mengembalikan suhu panas tubuh karena rendahnya suhu lingkungan. Ini menyebabkan suhu tubuh seseorang turun drastis.
Dokter spesialis kedokteran olahraga, Michael Triangto, mengatakan hipotermia adalah suatu keadaan yang harus dihadapi saat mendaki gunung. "Tidak bisa dicegah, tapi bisa dilawan dengan baju dingin beberapa lapis dan tidak memberatkan," kata Michael kepada Tempo, Rabu, 25 Januari 2017.
Michael menjelaskan, untuk melawan hipotermia setiap pendaki disarankan melakukan aklimatisasi atau penyesuaian tubuh terhadap sesuatu yang ada di ketinggian. "Mulai mendaki dari gunung yang lebih rendah, berlatih, baru kemudian di gunung yang tinggi," ujarnya.
Pendaki sebaiknya juga dapat mengatur metabolisme tubuh dengan meminum air yang cukup. "Jangan sampai dehidrasi, karena tanpa disadari buang air kecil yang banyak atau sering dapat membuat dehidrasi," kata dia.
Sebab, Michael melanjutkan, saat dehidrasi di ketinggian akan mengalami penipisan oksigen. Hal ini akan membuat seseorang kesulitan bernapas. "Gejala yang dialaminya seperti pusing dan sakit kepala."
Cara lain menghadapi hipotermia adalah dengan berlatih di tempat yang tinggi, misalnya joging atau berlari. Hal itu akan menghasilkan sel darah merah yang lebih banyak. Sel darah merah ini nantinya yang akan mengikat oksigen. "Karena saat di ketinggian, oksigen yang tipis pasti terjadi," ujarnya.
Menurut Michael, orang yang tinggal di ketinggian akan memiliki hemoglobin tinggi. "Mereka sudah terbiasa,” kata dia. Sedangkan orang yang hidup di dataran rendah sel darah merahnya lebih sedikit, sehingga mereka perlu aklimatisasi setiap akan naik gunung.
Udara atau oksigen yang tipis, Michael menjelaskan akan membuat denyut jantung lebih cepat. Hal ini akan berbahaya jika ditambah hipotermia. "Ujung jari akan menjadi sangat beku dan bisa diamputasi."
Jika sudah berada di puncak gunung, sebaiknya pendaki tidak berlama-lama berada di sana. “Oksigennya tipis,” kata dia. Jadi, "Setelah selesai (sampai di atas) sebaiknya langsung turun lagi. Umumnya begitu, tidak lama-lama," ujarnya.
AFRILIA SURYANIS