Saat pintu restoran dibuka, langsung terlihat meja kasir di sebelah kiri yang dijaga seorang pelayan berwajah Korea. Perempuan dengan rambut dikuncir kuda itu tampak agak terkejut karena kedatangan tamu. Dia bertanya, "Mau makan?".
Aroma apak menguar di ruangan itu, rasanya seperti berkunjung ke rumah tua yang lama tak ditempati. Pelayan segera menyalakan pendingin ruangan yang perlahan-lahan menghilangkan aroma tidak sedap.
Ia mengarahkan untuk duduk di meja yang paling jauh dari pintu masuk, persis di depan televisi.
Baca juga:
Belajar dari Kasus Kematian Kim Jong-nam, Ini Kisah Racunnya
Ini Dia Racun-racun Alami Pembunuh Manusia Itu
Semua dikerjakannya sendiri, mulai dari membalikkan piring-piring yang diletakkan terbalik di tiap meja kemudian menuangkan teh tawar ke dalam gelas kecil.
Setelah memberikan menu berisi foto-foto makanan yang ditata seadanya, dia kembali sambil membawa kertas pesanan.
"Mau pesan?" tanya pelayan bernama Choe Un Hyang itu dalam bahasa Indonesia.
Komunikasi jadi masalah utama dalam berkomunikasi dengan pelayan yang tidak fasih berbahasa Indonesia dan punya kosakata terbatas.
Sekat rotan menjadi pembatas yang membuat lantai satu restoran itu seakan terbagi dua. Di sebelah kiri sekat berjejer tiga meja kayu berbentuk bundar, tiap meja juga dibatasi sekat rotan.
Tak jauh dari meja kasir, ada sebuah pigura berisi foto Megawati dan Puan Maharani bersama lima perempuan Korea yang mengenakan busana tradisional.
Di ujung dinding ada televisi yang menampilkan sekelompok perempuan menari sambil menyanyi di panggung dengan latar belakang khas zaman dulu, mengingatkan pada panggung penyanyi Indonesia era 80-an.
Di bawah televisi ada meja persegi dengan taplak kuning senada dengan serbet. Terlihat tumpukan piring putih serta beberapa asbak yang sebagian permukaannya tertutup lap kuning.
Di sebelah kanan sekat terlihat dua ruangan lain dengan pintu bernomor 8 dan 9. Pintu ini hampir selalu tertutup.
Ketika seorang staf restoran keluar dari ruangan itu, pintunya tidak ditutup rapat. Dari celah terlihat ruangan itu berisi furnitur yang sama. Tetapi ruang tertutup itu memberi kesan seakan itu tempat makan untuk tamu istimewa yang butuh privasi. Perbedaan yang terlihat jelas adalah adanya karpet merah yang melapisi lantai di ruang tersebut.
Bila berjalan melewati dua pintu tersebut, ada wastafel untuk mencuci tangan.
Di sebelah kiri ada dapur, kemudian di sebelah kanan terlihat satu kulkas dan lemari pendingin besar seperti tempat menyimpan es krim di supermarket. Di pojokan dinding ada beberapa sekat rotan tak terpakai.
Toilet berada di lantai dua yang terkesan suram tanpa penghuni. Semua saklar dimatikan sehingga seluruh ruangan gelap, hanya ada sedikit cahaya matahari sore yang masuk dari jendela.
Ada dua bilik bersebelahan, masing-masing dilabeli toilet pria dan toilet wanita. Di dalamnya ada toilet duduk, semprotan, keran kecil, tempat sampah dan tisu.
Di balik pintu toilet perempuan tertempel kertas berisi tulisan dalam bahasa Korea yang artinya "Buang pembalut di tempat sampah".
Selain toilet, di lantai itu ada tiga ruangan gelap yang tidak dipakai. Di ruangan yang persis bersebelahan dengan toilet, terlihat meja kayu dan kursi yang serupa furnitur di lantai bawah. Dilihat dari lantai dua, lantai tiga juga sepi.
Tidak terlihat ada aktivitas maupun pelayan selain perempuan yang berjaga di kasir. Orang yang bekerja di dapur tidak memperlihatkan diri dan memasak tanpa banyak menimbulkan kebisingan.
Selanjutnya : Hening , pengunjungnya orang Korea, Cina dan Jepang