TEMPO.CO, Jakarta - Dokter Spesialis Ongkologi Ginekologi Andrijono mengatakan kanker serviks merupakan kanker nomor dua terbanyak pada perempuan di Indonesia, setelah kanker payudara. "Melalui skrining, kanker serviks ditemukan pada 1 dari 1.000 perempuan," kata Andrijono dalam diskusi media di Jakarta, 11 April 2017.
Ketua Himpunan Ongkologi Ginekologi Indonesia (HOGI) ini menjelaskan penyebab utama kanker serviks yakni infeksi HPV (Human Papilloma Virus). "Tidak hanya kanker serviks, HPV juga bisa menyebabkan kanker lain, seperti kanker mulut, nasofarink, vagina, penis dan anus," ujarnya.
Baca: Fakta Kanker Payudara yang Mengakhiri Hidup Renita Sukardi
Menurut Andrijono, pencegahan kanker serviks ada yang primer dan sekunder. "Pencegahan primer dengan vaksin, dan sekunder dengan skrining," katanya.
Namun, dia melanjutkan, cakupan skrining di Indonesia masih sangat rendah, yakni dengan IVA (inspeksi asam visual asetat) 3,5 persen dan pap smear 7,7 persen. "Karenanya kita perlu meloncat ke program vaksinasi. Kalau infeksi HPV bisa dicegah, kanker serviks bisa dicegah," tuturnya.
Andrijono menjelaskan, vaksin HPV berasal dari cangkang virus, bukan virus yang dilemahkan, sehingga tidak mungkin menyebabkan viremia (infeksi virus). "Jadi, vaksin ini melindungi dari kanker serviks sampai 70 persen. Karena 30 persennya lagi adalah antibodi," kata dia.
Menurut Andrijono, kabar yang menyebutkan bahwa vaksin HPV kuadrivalen atau mengandung 4 serotipe virus sudah tidak dipakai lagi di Amerika Serikat, itu bukan karena vaksin tersebut berbahaya. "Tapi, di Amerika itu sudah memakai vaksin yang baru yang mengandung 9 serotipe. Program vaksinasi (di Indonesia) masih menggunakan vaksin kuadrivalen (empat serotipe)".
Andrijono menegaskan, keamanan vaksin HPV telah dibuktikan melalui penelitian ilmiah. Pada program vaksinasi di Jakarta tahun lalu, tidak ada keluhan efek samping, kecuali bengkak atau nyeri di lokasi suntikan. "Di seluruh dunia pun tidak ditemukan efek samping yang serius," ujarnya.
Menurutnya, dibandingkan skrining, vaksin jauh lebih efektif. Sebab, bila ditemukan lesi prakanker saat skrining, perlu dilakukan terapi, dan akan ada morbiditas yang terjadi.
Selain itu, bila lesi pra kanker sudah grade 3, rahim harus diangkat, sehingga perempuan tersebut tidak bisa punya anak lagi. "Sedangkan dengan vaksin, dengan 2-3 suntikan, sudah mendapat proteksi hingga 15 tahun," kata Andrijono.
Kepala Subdirektorat Imunisasi Kementerian Kesehatan Dr. Prima Yosephine mengatakan efektivitas skrining berbeda dengan vaksinasi HPV. "Skrining dilakukan pada perempuan yang sudah menikah, di mana sudah ada risiko, sehingga agak terlambat. Sedangkan vaksinasi kita berikan sedini mungkin sebelum ada paparan virus, jadi kita sudah menang selangkah," kata Prima.
AFRILIA SURYANIS