Terapi Hormonal untuk Penderita Kanker Payudara  

Reporter

Editor

Alia fathiyah

Selasa, 1 September 2015 18:16 WIB

Ilustrasi kanker payudara. (dailymail)


TEMPO.CO, Jakarta - Di seluruh dunia, penderita kanker payudara mencapai 1,1 juta dengan angka kematian 410 ribu. Jumlah ini menyumbang 1,6 persen penyebab kematian perempuan di seluruh dunia.

Sedangkan di negara berkembang, kanker payudara menjadi penyebab kematian utama. Di Indonesia, misalnya, jumlah kasusnya melonjak, dari sekitar 16.049 pada 1990 menjadi 53.585 pada 2013.

Kini ada cara baru untuk memperpanjang hidup bagi penderita kanker payudara yakni dengan terapi hormonal.

Dokter Ramadhan Karsono sudah membuktikan hal itu lewat penelitian untuk disertasinya di Universitas Gadjah Mada, Yogyakarta. Kesimpulan yang diperoleh dokter di Rumah Sakit Dharmais Jakarta ini menyebutkan bahwa terapi hormonal mampu membuat pasien stadium 3B dan 4 bertahan selama rata-rata 1.039 hari.

Ini lebih panjang dari kemoterapi yang 633 hari. Penelitian dilakukan Ramadhan selama tujuh tahun mulai 2008. Dia membandingkan 28 pasien yang dirawatnya dengan kemoterapi dan 28 pasien lain dengan terapi hormonal.

Dua cara pengobatan ini jelas berbeda. Pada kemoterapi, kata Ramadhan, tubuh pasien diberi obat keras untuk merusak pertumbuhan dan membunuh sel kanker. Sedangkan pada terapi hormonal, produksi hormon estrogen yang memicu kanker dihentikan. Caranya dengan mengangkat indung telur atau diberi obat agar produksi estrogen terhambat.

Hormon estrogen yang diproduksi di indung telur selama ini dikenal sebagai biang keladi pemicu kanker payudara. Estrogen yang “menempel” pada sel dengan bakat kanker bisa membuat sel membelah lebih cepat. Semakin cepat pembelahan, kemungkinan sel tumbuh abnormal dan menjadi bibit kanker semakin besar. Sehingga stimulasi estrogen yang terus-menerus membuat sel kanker beranak-pinak.

Hormon progesteron yang juga dihasilkan oleh indung telur mempercepat proses tersebut. Maka pengangkatan indung telur dilakukan agar siklus haid berhenti. Dengan demikian estrogen dan progesteron pun tak lagi diproduksi. Alhasil, pertumbuhan sel kanker mandek.

Selain memperpanjang umur, kata Ramadhan, kabar baik lainnya, efek terapi hormonal tak seseram kemoterapi. Pada kemoterapi, obatnya tak cuma merusak sel kanker, tapi juga sel normal dalam tubuh. Walhasil, pasien bisa mengalami mual dan muntah, rambut rontok, kerusakan ginjal, hingga kerusakan otot jantung. Nah, pada terapi hormonal, pasien hanya mengalami penuaan lebih cepat. Sebab sang pasien, "Dibikin menopouse," kata Ramadhan.

Bagaimana jika si pasien ogah rahimnya diangkat? Tidak masalah. Menurut Ramadhan, pasien bisa mengkonsumsi obat-obatan untuk mengurangi produksi estrogen dan progesteron, serta memblokade estrogen dan progesteron reseptor. Untuk penderita yang sudah menopause alami, indung telur juga tak perlu dilenyapkan. Tapi cukup dengan mengkonsumsi obat agar estrogen yang berasal dari lemak dan jaringan kulit juga dihambat.

Selain tak bisa hamil, pengangkatan estrogen masih berdampak lain, yakni bisa mengakibatkan osteoporosis. Namun, menurut dia, efek ini tak perlu dikhawatirkan, soalnya angka harapan hidup pasien kanker payudara memang tak banyak.

Namun banyak ahli menyebutkan tak semua kanker payudara dipengaruhi hormon estrogen. Hanya sel payudara tipe hormone receptor-positive yang pertumbuhannya terpengaruh. Tapi, menurut Ramadhan, meski reseptornya negatif, perempuan sangat bergantung pada hormon ini. Dia menunjuk, jika produksi hormon dihentikan sebelum masa pubertas, payudara tak bakal berkembang. "Maka hormon yang sangat menentukan perkembangan payudara, baik yang normal maupun yang terkena kanker," kata dia.

Terapi hormonal sebenarnya bukan hal yang baru di dunia kedokteran. Bahkan metode ini sudah diperkenalkan jauh sebelum kemoterapi ditemukan. Adalah dokter asal Inggris, George Thomas Beatson, yang mempublikasikan cara tersebut pada 1896. Selang hampir setengah abad kemudian, kemoterapi baru ditemukan. Karena dianggap lebih cespleng, kemoterapi perlahan-lahan menggeser terapi hormonal.

Namun, lantaran dampak sampingnya tak menguntungkan, kemoterapi gantian mulai ditinggalkan. Menurut Ramadhan, banyak dokter di dunia mencari alternatif karena efek negatif tersebut. Mereka pun mulai kembali menggunakan terapi hormonal. "Ini seperti dari masa lalu untuk masa depan," katanya.

Promotor Ramadhan, Teguh Aryandono, mengatakan penelitian yang dilakukan Ramadhan itu menawarkan alternatif pengobatan kanker payudara stadium lanjut. Soalnya, selama ini masyarakat kebanyakan hanya mengenal kemoterapi. Terlebih, kata guru besar Fakultas Kedokteran Universitas Gadjah Mada ini, efek samping terapi hormonal lebih sedikit dibandingkan dengan kemoterapi. Ini sesuai dengan asas pengobatan. "Prinsipnya, meski tak menyembuhkan, jangan lagi menambah beban pasien," katanya.

Biayanya pun lebih murah. Salah seorang pasien terapi hormonal, Rachmawati, 42 tahun, membenarkan hal tersebut. Menurut dia, pada 2008, dokter mentotal biaya untuk kemoterapi, pengangkatan payudara, dan radioterapi sebesar Rp 71 juta. Sedangkan pengobatan hormonalnya dengan pengangkatan indung telur dan payudara, dan konsumsi obat, hanya berkisar Rp 31 juta. "Memang lebih murah," katanya.

Hanya, menurut Teguh, hasil penelitian ini perlu diuji lebih lanjut dengan kasus yang lebih banyak dan periode yang lebih lama. Sehingga bakal kelihatan apa efek samping dari pengobatan ini.

NUR ALFIYAH

Berita terkait

Hal-hal yang Perlu Diketahui Soal Bahaya Kandungan Senyawa Bromat pada Air Minum dalam Kemasan

42 hari lalu

Hal-hal yang Perlu Diketahui Soal Bahaya Kandungan Senyawa Bromat pada Air Minum dalam Kemasan

Pakar mengingatkan bahaya kandungan senyawa bromat yang banyak terbentuk saat Air Minum Dalam Kemasan (AMDK).

Baca Selengkapnya

Kemnaker Gelar Workshop Atasi Tantangan Kesehatan Kerja

18 Mei 2022

Kemnaker Gelar Workshop Atasi Tantangan Kesehatan Kerja

Banyak perubahan terjadi pada ketenagakerjaan. Perlu penyiapan untuk perlindungan tenaga kerja.

Baca Selengkapnya

Tips Mencegah Iritasi Kulit di Belakang Telinga karena Pakai Masker

8 Maret 2022

Tips Mencegah Iritasi Kulit di Belakang Telinga karena Pakai Masker

Potensi peradangan semakin besar apabila seseorang memiliki kulit sensitif dan menggunakan masker dalam waktu yang lama.

Baca Selengkapnya

Kenali 6 Penyakit Pembuluh Darah yang Paling Umum Terjadi

30 Desember 2021

Kenali 6 Penyakit Pembuluh Darah yang Paling Umum Terjadi

Penyakit pembuluh darah adalah gangguan yang mempengaruhi sistem peredaran darah dari dan ke organ tubuh.

Baca Selengkapnya

Sikap Skeptis Tinggi, Daewoong Gaet 15 Anak Muda Kreatif Galakkan Info Kesehatan

20 Desember 2021

Sikap Skeptis Tinggi, Daewoong Gaet 15 Anak Muda Kreatif Galakkan Info Kesehatan

Banyak masyarakat bersikap skeptis terkait bahaya pandemi Covid-19. Untuk tangani hal itu, Daewoong ajak anak muda galakkan info kesehatan

Baca Selengkapnya

Asam Lambung Naik, Ketahui Posisi Tidur yang Tepat dan Lakukan Diet Asam Lambung

18 November 2021

Asam Lambung Naik, Ketahui Posisi Tidur yang Tepat dan Lakukan Diet Asam Lambung

Beberapa hal yang yang harus diperhatikan penderita gangguan asam lambung adalah posisi tidur dan diet.

Baca Selengkapnya

Mengenal Demam Tifoid, Cegah dengan Vaksinasi 3 Tahun Sekali

13 November 2021

Mengenal Demam Tifoid, Cegah dengan Vaksinasi 3 Tahun Sekali

Indonesia masih endemi demam tifoid atau dikenal dengan sebutan penyakit tipus atau tipes.

Baca Selengkapnya

Manfaat Berjalan Kaki, Membantu Mengurangi Berat Badan Hingga Mood Lebih Baik

11 November 2021

Manfaat Berjalan Kaki, Membantu Mengurangi Berat Badan Hingga Mood Lebih Baik

Rutin berjalan kaki setiap hari membantu mengurangi risiko penyakit jantung, diabetes, dan menurunkan berat badan.

Baca Selengkapnya

Sering Pakai Semprotan Hidung untuk Mencegah Covid-19, Begini Cara Kerjanya

30 Oktober 2021

Sering Pakai Semprotan Hidung untuk Mencegah Covid-19, Begini Cara Kerjanya

Salah satu cara mencegah Covid-19 adalah dengan menyemprotkan cairan khusus ke hidung. Apa kandungan dalam cairan itu dan bagaimana cara kerjanya?

Baca Selengkapnya

5 Cara Terhindar dari Sakit Kepala

24 Oktober 2021

5 Cara Terhindar dari Sakit Kepala

Penyebab sakit kepala yang dominan terjadi selama pandemi Covid-19 adalah kelelahan dan kurang tidur.

Baca Selengkapnya