Penyerangan Gereja St Lidwina, Simak Kisah SabangMerauke
Reporter
Tempo.co
Editor
Mitra Tarigan
Senin, 12 Februari 2018 17:00 WIB
TEMPO.CO, Jakarta - Penyerangan Gereja Santa Lidwina Sleman, Yogayakarta terjadi pada Minggu 11 Februari 2018. Saat itu, jemaat sedang beribadah dan penyerangan tersebut menimbulkan korban tiga orang, diantaranya Romo Edmund Prier yang terkena dua luka bacok di bagian kepala dan punggung, dua korban lain yang dirawat adalah jemaat Gereja Santa Lidwina yang masing masing mengalami luka bacok di kepala dan punggung oleh pelaku. Dikabarkan pelaku diduga seorang mahasiswa dan saat ini masih dalam pemeriksaan kepolisian setempat.
Hal ini tentu menambah keresahan dalam kehidupan masyarakat. Indonesia terbentuk dari berbagai adat dan budaya juga agama. Miskinnya rasa toleransi antar penduduknya semakin marak terjadi dan mengikis rasa persatuan. Namun, pembiaran hal ini dapat mempengaruhi pandangan dan karakter diri generasi penerus bangsa. Baca: Apa yang Dilakukan Paspampres Saat Tidak Mengawal Presiden?
Kurangnya pemahaman hidup dalam keberagaman dengan agama lain sempat dialami Apipa. Perempuan berjilbab ini sejak lahir tinggal di Desa Nanga Lauk, Putus Sibau, Kapuas Hulu, Kalimantan Barat. Seluruh penduduk di desa itu muslim. Melalui program SabangMerauke, Apipah datang ke Jakarta untuk pertama kalinya dan langsung tinggal bersama orang tua angkat dari kelompok etnis Tionghoa yang beragama Kristen. "Apipa sempat khawatir karena takut dengan orang yang berbeda agama," kata dia kepada Tempo pada Januari 2017.
Apipa rupanya punya pengalaman tak enak menghadapi temannya yang berbeda agama. "Egois, suka marah-marah, dan menghina agama Apipa," katanya.
Raymond Lim dan Ratna Megasari, orang tua angkat Apipa, menceritakan pengalaman mereka saat tinggal bersama Apipa. Rasa was-was mereka terbukti dengan keluhan Apipa dalam tiga hari pertama. "Apipa ingin pindah, tidak suka tinggal dengan keluarga Kristen karena takut nanti diajak ke gereja, takut tidur di kamar gelap, lampu dimatikan," kata Apipa. Baca: 5 Tanda Kualitas Tidur Anda Kurang, Ceroboh dan Mudah Tersinggung
Ratna juga melanjutkan ada hari-hari ketika ia merasa gagal. "Ketika saya tawarin makan, dia makan ini tidak mau, itu tidak mau,” kata Ratna Saat bulan suci Ramadhan tiba pun, keluarga Raymond sedikit bekerja keras menyiapkan makan sahur bagi Apipa. Ratna bertanya ke sana kemari soal menu sahur yang baik. Ia juga menyesuaikan waktu tidur untuk menyiapkan makan sahur.
Video cerita ini bisa kita lihat di YouTube, yang sudah dilihat lebih dari 160ribu penonton. Cerita ini pula yang mengantarkan program SabangMerauke terpilih sebagai Our Better World’s Good Story of The Year 2016 dengan 1.093 suara. Tidak cuma meraih vote terbanyak di Indonesia, video itu juga mendapat suara terbanyak di antara negara-negara lain.
Ayu Kartika Dewi, salah seorang penggagas program SabangMerauke yang dijalani Apipa menceritakan pengalamannya saat berkunjung ke Halmahera Selatan.
Saat itu, dia mengisahkan, bekas perpecahan di Ambon terasa dampaknya sampai ke desa tepat ia mengajar. Desa terkotak-kotakkan menjadi desa Islam dan desa Kristen. Ayu mengakui penyekatan itu awalnya bertujuan mengurangi gesekan. Namun harga yang harus ditebus sangat mahal. Anak-anak hidup tanpa mengenal sesamanya yang berlainan agama. Mereka hanya tahu bahwa orang yang berlainan agama sangat jahat. Baca: 6 Mitos dan Fakta Kanker yang Sering Dipercaya Orang
Atas dasar inilah, Ayu bersama beberapa orang temannya mendeklarasikan SabangMerauke pada 28 Oktober 2012. SabangMerauke, yang merupakan akronim dari Seribu Anak Bangsa Merantau untuk Kembali, merupakan program pertukaran pelajar sekolah menengah pertama antar-daerah di Indonesia. Anak-anak SMP dari daerah, terutama dari daerah konflik, akan diajak ke Jakarta untuk menginap selama tiga pekan. Mereka ditempatkan bersama keluarga angkat yang betul-betul berbeda dengan mereka. "Berbeda ras, suku, dan agama," kata Ayu Kartika Dewi.
DINI PRAMITA | ANASTASIA PRAMUDITA DAVIES | KORAN TEMPO