Hormon Tidak Stabil, Waspadai Depresi Pasca Melahirkan
Reporter
Tempo.co
Editor
Mitra Tarigan
Kamis, 6 September 2018 09:15 WIB
TEMPO.CO, Bekasi - Depresi pernah dialami Azani Fitria. Ibu tiga anak ini masih mengingat perlakuan buruknya terhadap anak pertamanya 10 tahun lalu. Azani pernah membakar kain di kamar tidurnya di saat anaknya yang masih bayi, sedang tidur di kasur. "Saya sadar membakar sesuatu di kamar, tapi saya sudah lupa kronologi tepatnya," kata Ani, sapaan Azani pada acara 'The Art of Motherhood: Life After Bebe' di Studio Yoga The Good Prana, Bekasi pada Ahad 26 Agustus 2018.
Baca: Suka Lihat Internet? Awas Penyakit Cyberchondria
Ani berhasil ditolong oleh tetangganya yang sempat melihat asap mengepul. Beruntung api belum terlalu besar, dan Ani yang pingsan di dalam kamar yang terbakar itu berhasil dievakuasi bersama si bayi.
Kejadian kebakaran itu adalah salah satu dampak besar akibat stres yang dialami wanita 34 tahun ini yang pada saat itu berusia 24 tahun. Perlakuan 'berbeda' kepada anak pertamanya sempat dilakukannya dengan mencoba jauh dari si anak. Ani, yang berprofesi sebagai bidan, lebih banyak menghabiskan waktu di kantor atau dinas ke luar kota daripada cepat-cepat pulang dan bermain dengan si kecil yang tentunya membutuhkan perhatiannya. "Saya sampai perlu diingatkan oleh ayah 'Kamu tuh punya anak'," kata Ani.
Tidak hanya itu. Stres tinggi yang dihadapi Ani pun berakibat pada hubungannya dengan suami. Ibu tiga anak ini mengaku sering bertengkar karena hal sepele. Ketika pertengkaran berlangsung pun sempat terucap kata untuk pisah.
Saat itu, Ani sangat suka meledak-ledak, ia pun susah tidur. "Badan itu sebenarnya capek dan lelah, tapi saya sama sekali tidak bisa tidur," kata Ani yang tidak jarang mengkonsumsi obat tidur untuk menangani insomnia.
Keluarga dan orang terdekatnya tidak tahu tentang stres yang dialami Ani. Menurut Ani lingkungan terdekatnya justru menghubungkan perilaku 'aneh' Ani dengan ilmu gaib. Ani disadarkan oleh psikolog secara tidak sengaja bahwa ia menderita stres berat. Saat itu ia hendak melakukan psikotes untuk keperluan pekerjaannya. Sang dokter melihat ada yang yang tidak beres dengan hasil tes itu. "Saya lalu diajak berbicara lebih dalam apa yang terjadi, dan saat itu saya baru diketahui mengalami Postpartum Depression," katanya.
Setelah ditelaah lebih jauh, Ani ternyata sudah mulai merasa mulai tertekan sejak mengandung anak pertamanya. Ia mengandung di saat ia butuh konsentrasi penuh pada kariernya. Ia pun mengaku sempat memiliki masalah hubungan dengan ayahnya. Semua pikiran itu tertumpuk di kepalanya dan seakan 'meledak' saat ia melahirkan si bayi.
Pospartum depression adalah depresi pasca melahirkan. Depresi yang dialami oleh seorang ibu setelah melahirkan. Masalah mental ini lebih parah dibandingkan dengan baby blues. "Kalau baby blues, mungkin hanya antara 2 hari hingga 2 pekan saja, tapi kalau Postpartum Deppression pasien bisa mengalaminya hingga tahunan," kata Psikiater Siloam Semanggi Dyani Pitra Velyani.
Velly, sapaan Dyani mengatakan cukup banyak orang yang mengalami depresi yang seperti dialami Ani. "1 dari 5 orang ibu bisa mengalami depresi setelah melahirkan. Namun tingkatannya berbeda, dari ringan, sedang hingga berat," kata Velly.
Depresi membuat kualitas hidup sang ibu tidak optimal. Kualitas hidup yang buruk itu bisa mengakibatkan hubungan kepada pasangan, anak atau keluarga lainnya terganggu. Menurut Velly, sama seperti depresi pada umumnya, depresi bagi ibu sehabis melahirkan itu pun bisa berujung pada bunuh diri. "Orang yang mengalami depresi itu moodnya selalu jelek. Bila sudah parah mereka bisa menyakiti diri sendiri, hingga bunuh diri," katanya.
Ada banyak faktor terjadinya depresi pasca melahirkan. Perubahan fisik yang dirasakan ibu, hingga hormon ibu yang masih belum stabil. "Depresi ini tidak mungkin datang tiba-tiba, turunnya pelan pelan. Penting untuk diketahui oleh para suami dan lingkungan dekat si ibu agar bisa segera tertangani," katanya.
Orang yang mengalami depresi setelah melahirkan kualitas hidupnya tidak seratus persen. Ketika sudah bermasalah dengan dirinya, bagaimana dia bisa fokus mengurus bayi yang baru dilahirkannya. Velly sangat menyarankan agar orang yang mengalami postpartum depression ini segera menemui ahli. "Apakah akan diberikan obat anti cemas, atau anti depresi, atau bahkan tidak dikasih obat, itu tergantung kondisi pasien," kata Velly.
Untuk menghindari para ibu mengalami postpartum depression, Velly menyarankan untuk mengatur gaya hidup sehat. Selain itu, para ibu yang baru melahirkan, diharapkan bisa lebih terbuka kepada pasangannya. "Kalau tidak happy, katakan tidak happy. Talk it out kepada pasangan dan lingkungan terdekat," katanya.
Saat ini Ani merasa masih dalam pemulihan. Ia mengatakan emosi depresi yang pernah dirasakannya saat hamil anak pertamanya, seolah dirasakan oleh sang anak yang saat ini sudah berusia 10 tahun. Untuk meyakinkan si anak pertama bahwa ia juga sangat mencintai putra sulungnya itu, Ani pun selalu memeluknya. "Terlihat perbedaannya, anakku pertama ini lebih emosional dibanding anak kedua dan ketiga," kata Ani yang beruntung tidak mengalami depresi saat mengandung anak kedua dan ketiga.
Baca: Pentingnya Menjaga Kesehatan Mental dengan Menjauhi Depresi
Salah satu upaya pemulihan yang dilakukannya adalah melakukan olahraga, khususnya yoga. "Olahraga sangat membantu saya mengurangi depresi itu," kata instruktur yoga ini.