Simak 5 Jurus Ampuh Menghindari Tragedi pada Sebuah Keluarga
Reporter
Bisnis.com
Editor
Susandijani
Minggu, 28 Oktober 2018 16:35 WIB
TEMPO.CO, Jakarta - Tragedi pembunuhan dan bunuh diri pada keluarga Fransiskus Xaverius Ong atau FX Ong yang terjadi di Palembang, baru-baru ini, meninggalkan luka mendalam.
Baca juga: Kenapa Tragedi Pembunuhan Keluarga FX Ong Terjadi? Cek Risetnya
Psikolog Tika Bisono mengungkapkan beberapa hal yang bisa dipetik dari kejadian tersebut.
Pertama, jangan menggampangkan persoalan sehari-hari di dalam rumah tangga. Pasalnya, persoalan sehari-hari yang terus didiamkan hingga memuncak bisa saja menjadi bom waktu yang menimbulkan persoalan-persoalan yang lebih besar.
“Persoalan tidak bisa diantengin atau digantungin. Banyak orang menganggap biasa. Walaupun sehari-hari, tetap itu persoalan. Setiap persoalan harus tuntas dan selesai,” ujarnya kepada Bisnis, Jumat 26 Oktober 2018.
Kedua, idealnya suami dan istri bekerja sama. Dengan kerja sama, akan ada pembagian beban yang lebih mudah dikomunikasikan. Baik suami maupun istri menjadi lebih leluasa untuk berbagi dan saling tolong-menolong.
Sayangnya, banyak keluarga yang justru bekerja sendiri-sendiri. Ketika masing-masing memiliki masalah, seperti persoalan pekerjaan, mereka enggan untuk berbagi satu sama lain lantaran menganggap akan membebani pasangan atau membuat masalah semakin runyam.
“Ada kalanya pasangan yang niatnya mau menyelesaikan masalahnya sendiri ternyata tidak bisa. Pada saat gagal, baru pasangannya tahu. Dalam kondisi pasangannya tahu setelah gagal, ini tidak ideal. Seyogyanya ya bareng, stresnya dibagi,” tutur Tika.
Selanjutnya, mengapa pola asuh masa kecil penting untuk mereka yang sudah berkeluarga?
<!--more-->
Ketiga, pentingnya pola asuh. Pola asuh orang tua sejak kecil ternyata menentukan kepribadian anak di kemudian hari, termasuk ketika telah berkeluarga.
Dia menjelaskan salah satu faktor utama ketidakberhasilan suami istri untuk bekerja sama adalah karena pola asuh dari kecil yang tidak diajarkan oleh orang tua mereka berupa nilai kerja sama. Karena itu, mereka menjadi tidak mengerti makna tolong-menolong, kolaborasi, dan komunikasi dua arah.
“Kalau begini, salah orang tuanya. Siapa juga yang ingin jadi orang kayak begitu? Inginnya hidup normal. Pola asuh orang tua seringkali membuat sosok anak menjadi dewasa yang kacau,” lanjut Tika.
Keempat, mempelajari sikap tertutup. Jika sejak kecil anak kurang atau bahkan tidak diajarkan untuk bisa berkolaborasi dengan orang lain, bukan tidak mungkin ketika dewasa menjadi orang yang tertutup dan anti sosial.
Ngerinya, orang-orang yang anti sosial kadang memiliki prinsip all or none. Orang yang memiliki prinsip ini biasanya memiliki perilaku yang ekstrem, gagal untuk memaknai dan menerjemahkan norma-norma yang berlaku umum.
“Biasanya pandangan orang-orang ini, ya sudah kita semua pergi. Konsep melakukan kejahatan enggak ada, soalnya punya norma pribadi. Tetapi orang semacam ini kadang tidak kelihatan, bahkan oleh pasangannya sendiri. Ini yang harus diwaspadai,” katanya.
Kelima, dekat dengan anak. Tika berpandangan bahwa jika orang tua dekat dengan anak, maka anak akan menjadi pelipur lara dan penghilang stres, bukan justru menjadi korban emosinya.