Turunkan Berat Badan Tidak Cukup Hanya dengan Diet
Reporter
Praga Utama
Editor
Mitra Tarigan
Senin, 8 April 2019 08:45 WIB
TEMPO.CO, Jakarta - Masih ingat Arya Permana. Bocah berusia 10 tahun asal Karawang, Jawa Barat, yang dua tahun lalu berbobot 190 kilogram. Akibat mengalami obesitas itu, Arya sampai tak mampu bergerak dan beraktivitas seperti biasa. Kisah Arya mencuat begitu pemerintah Kabupaten Karawang membawa dia ke Rumah Sakit Hasan Sadikin, Bandung, untuk mendapat penanganan medis terkait dengan berat badannya. Bocah laki-laki ini mengalami obesitas karena pola makan berlebihan sejak kecil. Setelah mengikuti berbagai perawatan medis dan perubahan gaya hidup yang lebih sehat selama 20 bulan, Arya berhasil menurunkan berat badannya hingga tinggal 80 kilogram.
Baca: Cegah Obesitas dengan Hindari Karbohidrat Olahan di Supermarket
Sejak kisah Arya viral, kasus-kasus obesitas ekstrem belakangan mencuat di berbagai daerah. Beberapa di antaranya yang ramai diberitakan adalah Yudi Hermanto, 33 tahun, pria asal Karawang, berbobot 310 kilogram; SD, perempuan berusia 15 tahun, berbobot 179 kilogram asal Lumajang, Jawa Timur; dan Titi Wati, perempuan berusia 37 tahun, asal Kalimantan Tengah yang berat badannya mencapai 220 kilogram. Terbaru, pada awal Maret lalu, seorang pasien perempuan asal Karawang berbobot hampir 150 kilogram diberitakan meninggal saat menjalani penanganan medis di rumah sakit yang sama dengan tempat Arya dirawat.
Menurut binaragawan Ade Rai, sebetulnya beberapa kasus obesitas ekstrem yang mencuat itu karena bobot tubuh penderitanya yang memang sangat berlebih. Misalnya, Arya dengan nilai IMT atau indeks massa tubuh (perbandingan berat badan dengan tinggi badan) mencapai 50. Seseorang masuk ke dalam kategori obesitas jika nilai IMT-nya lebih dari 27,0. Adapun nilai IMT normal adalah 18,5-22,9.
"Nah, kasus obesitas umum pun seharusnya mendapat perhatian lebih," kata Ade. Karena jumlah penderita obesitas terus naik dari tahun ke tahun.
Kementerian Kesehatan RI, melalui Riset Kesehatan Dasar 2018 yang dirilis pada Desember tahun lalu melaporkan, prevalensi penduduk berusia lebih dari 18 tahun yang mengalami obesitas terus bertambah. Jika pada 2007 jumlahnya hanya 8,6 persen dari total penduduk, pada tahun lalu prevalensinya meningkat menjadi 21,8 persen.
Direktur Gizi Masyarakat Kemenkes, Doddy Izwardy, mengatakan secara umum, obesitas disebabkan oleh tiga faktor, yakni faktor perilaku, lingkungan, dan genetik. Faktor genetik hanya menyumbang 10-30 persen, sedangkan faktor perilaku dan lingkungan dapat mencapai 70 persen. "Faktor terbesar itu karena kurangnya aktivitas fisik, kebiasaan makan makanan instan, serta kurang mengkonsumsi buah dan sayur," kata Doddy dalam keterangan persnya beberapa waktu lalu.
Tak sedikit orang yang sudah merasakan kelas atau workshop diet untuk menurunkan berat badan. Salah satu yang pernah rutin mengikuti pelatihan diet adalah pendiri Pesantren Daarul Qur’an, Jam’an Nurkhatib Mansur, atau yang populer dengan nama Ustad Yusuf Mansur. Setahun lalu, Yusuf mengundang pendiri gaya hidup ketofastosis, Nur Agus Prasetyo, untuk mengajarinya menjalani diet tanpa karbohidrat itu.
"Awalnya karena saya gelisah melihat bentuk perut semakin buncit," ujar Yusuf, Kamis lalu, seraya tertawa. Rupanya kegelisahan serupa dialami rekan-rekan Yusuf di pesantren. "Kok makin tua bentuk badan kami makin ancur, ha-ha-ha." Selain itu, Yusuf yang memang gemar makan ini mengaku kerap mengalami sakit kepala dan mudah jatuh sakit. Setelah diperiksa, rupanya kadar gula dan lemak tubuhnya cukup tinggi.
Melalui diet ketofastosis yang diajarkan Prasetyo, Yusuf dan rekan-rekannya kemudian mulai mengurangi konsumsi gula dan karbohidrat. Meski tak sepenuhnya menjalani diet ketofastosis (menghindari makan karbohidrat), prinsip-prinsip diet seperti makan secukupnya ia terapkan dengan disiplin. "Lumayan setahun terakhir sudah terasa, lingkar perut mulai mengecil." Rekan-rekan Yusuf di Daarul Qur’an ada yang konsisten menjalani diet ini hingga berhasil menurunkan bobot tubuh sebanyak belasan hingga puluhan kilogram.
Baca: Mau Tetap Langsing, Intip Pola Makan Negara Maju Jepang dan Korea
Meski begitu, Yusuf tak menerapkan pola makan rendah karbo itu untuk para santrinya. Karena, kata dia, aktivitas para santri masih cukup tinggi. "Jadi pembakaran karbohidrat mereka seimbang, makan banyak pun tak masalah." Yusuf mengatakan pola makan teratur dan dibatasi ini sangat bermanfaat bagi orang-orang yang sudah berusia di atas 40 tahun. "Sebagai pencegahan penyakit degeneratif seperti jantung dan diabetes juga."
AMMY HETHARIA | HADRIANI PUDJIARTI | PRAGA UTAMA