Lansia Perlu Lebih Waspada pada Penyakit AMD di Mata, Lakukan Deteksi Dini
Reporter
Tempo.co
Editor
Mitra Tarigan
Rabu, 3 November 2021 21:59 WIB
TEMPO.CO, Jakarta - Emil Salim sangat suka membaca. Sebagai dosen, ia pun terus menimba ilmu dengan membaca melalui Ipad, komputer untuk mencari bahan kuliah. "Setiap pekan, selalu ada yang harus saya baca, sehingga modal utama saya itu mata. Kalau mata saya tidak bisa memandang, mati saya," kata Emil Salim pada webinar World Sight Day 2021, 14 Oktober 2021
Sayang, ketika ia lanjut usia, ia sempat kesulitan menggunakan indra penglihatannya. Emil Salim mengatakan pada 1995, ketika ia masih menjadi Menteri Lingkungan Hidup dan Kehutanan, penglihatannya terasa kabur. "Mata saya tidak bisa fokus, dan penglihatan tidak tajam. Baru ketahuan saya mengalami AMD," katanya.
Edwin juga bercerita bagaimana awalnya ia mengalami masalah mata. Saat itu Maret 2012. Edwin mengatakan mata kirinya awalnya bermasalah. Tidak lama kemudian, mata kanannya pun tidak bisa memandang maksimal. Ia semakin sulit melihat televisi. Dalam pandangan matanya pun terdapat kabut yang tebal sekali.
Emil Salim dan Edwin adalah pasien Dokter Spesialis Mata Konsultan RSCM, Gitalisa Andayani. Gita menjelaskan penyakit mata yang dialami Emil Salim dan Edwin adalah Degenerasi Makula Terkait Usia alias AMD. AMD adalah penyebab utama gangguan penglihatan dan kebutaan pada populasi lanjut usia di negara berkembang. "AMD ini penyebab kebutaan ketuga terbanyak di dunia," kata Gita dalam kesempatan yang sama.
Penyakit AMD ini dibagi menjadi 2, yaitu AMD tipe kering dan AMD tipe basah. Orang dengan AMD tipe kering mungkin memiliki endapan kuning, yang disebut drusen, di makula mereka. Beberapa drusen kecil mungkin tidak menyebabkan perubahan pada penglihatan. Tetapi ketika menjadi lebih besar dan lebih banyak, drusen mungkin meredupkan atau mendistorsi penglihatan, terutama ketika membaca. "Ketika kondisinya semakin parah, sel-sel peka cahaya di makula menjadi lebih tipis dan akhirnya mati. Dalam bentuk atrofi, seseorang bisa jadi memiliki bintik-bintik buta di tengah penglihatan. Semakin parah, seseorang mungkin kehilangan penglihatan sentral," kata Gita.
Pada AMD basah, keadaannya adalah pembuluh darah tumbuh dari bawah makula. Pembuluh darah ini bocor dan mengalirkan darah dan cairan ke retina. Penglihatan menjadi terdistorsi sehingga garis lurus terlihat bergelombang. Akan timbul juga bintik-bintik buta dan kehilangan penglihatan sentral. Pembuluh darah ini dan pendarahannya akhirnya membentuk bekas luka, yang pada akhirnya bisa menyebabkan hilangnya penglihatan sentral secara permanen. "Bila tidak diobati, kebutaan pada AMD tipe basah akan lebih cepat terjadi dibandingkan AMD tipe kering, kata Gita.
<!--more-->
Beberapa gejala AMD mirip disebutkan oleh kedua pasien Gita itu. Namun kata Gita, biasanya gejala AMD basah diawali seperti gejala pada AMD kering. "Namun pada awalnya berkembang bertahap tanpa rasa sakit. Semakin lama, perkembangannya akan semakin tiba-tiba dan cepat memburuk," kata Gita.
Biasanya pasien dengan AMD akan mengalami beberapa gejala, seperti distorsi visual artinya seperti garis lurus yang tampak bengkok. Mereka pun akan mengalami pengurangan penglihatan sentral pada satu atau kedua mata. Lalu pasien pun akan membutuhkan cahaya yang lebih terang saat membaca atau melakukan pekerjaan jarak dekat. Kemudian, pasien akan mengalami kesulitan saat beradaptasi dengan tingkat cahaya rendah, seperti memasuki restoran yang remang-remang.
Pasien juga akan mengalami kesulitan membaca kata-kata yang tercetak. Ada pula gejala penurunan melihat kecerahan warna. Lalu pasien juga akan semakin sulit mengenali wajah. Akan ada pula titik buram atau titik buta yang jelas dalam penglihatan. Lalu ada metamorphopsia, di mana garis lurus tampak bengkok atau bergelombang. Ciri lainnya adalah ada titik buta pada penglihatan sentral (central scotoma) yang akan terus membesar tanpa pengobatan yang tepat.
Gita menjelaskan pada AMD kering biasanya tidak mengakibatkan kehilangan penglihatan total, biasanya perawatannya dibantu dengan dukungan dan adaptasi gaya hidup dapat mempermudah mengatasi kehilangan penglihatan dan memaksimalkan penglihatan yang tersisa seperti menggunakan lensa pembantu. Namun bagi pasien AMD basah perlu lebih diperhatikan pengobatannya. AMD basah berpotensi mengalami komplikasi hingga kebutaan jika tidak ditangani dengan tepat.
"Salah satu yang menjadi kunci pengobatan adalah obat anti-VEGF. Pengobatan AMD eksudatif melibatkan pemberian agen anti-VEGF, seperti Aflibercept dan Ranibizumab, yang merupakan pilihan pengobatan yang efektif untuk pasien dengan AMD eksudatif," kata Gita.
Anti-vascular endothelial growth factor medication (Anti-VEGF) adalah bahan kimia yang berkontribusi pada pembentukan pembuluh darah baru di mata orang dengan yang mengalami wet AMD. Obat anti-VEGF memblokir bahan kimia ini sehingga tidak dapat menghasilkan pembuluh darah lagi. Anestesi diterapkan, dan kemudian dokter menyuntikkan obat ke mata dengan jarum yang sangat halus. Perawatan seperti ini harus dilakukan secara rutin dalam interval waktu tertentu. "Dia juga rangsang pertumbuhan jaringan," kata Gita.
Dalam beberapa kasus, pengobatan anti-VEGF telah memulihkan beberapa penglihatan, tetapi ini tergantung pada individu dan gejala yang mereka miliki. Perawatan anti-VEGF biasanya tidak memiliki efek samping, tetapi rasa sakit, bengkak, kemerahan, dan penglihatan kabur dapat terjadi setelah suntikan.
"Masalahnya adalah banyak pasien enggan matanya disuntik dengan anti-VEGF. Alasannya beragam dari mulai takut matanya disuntik hingga memiliki ekonomi terbatas. Pandemi ini pun semakin memperparah proses pengobatan penyakit AMD ini karena orang takut datang ke rumah sakit," kata Gita.
Benar saja, Emil Salim sempat takut ketika disarankan dokter untuk disuntik matanya. "Kaget, katanya (dokter) mata ditusuk. Kami seisi rumah panik semua," kata Emil yang awalnya menolak mendapatkan pengobatan itu. Tapi akhirnya ia pun luluh ketika cucunya melahirkan. "Saya ingin melihat cicit saya," katanya.
Edwin lain lagi, ia lebih pasrah mendengar apapun saran dokter. "Tujuan saya buat sembuh," katanya.
Gita menambahkan bahwa pengobatan AMD ini perlu dilakukan secara berkala hingga bertahun-tahun lamanya. Pasien biasanya akan disuntik setiap bulan sekali selama 3 bulan awal. Lalu, pasien perlu melakukan kontrol secara berkala. "Penyakit ini persentase kambuhnya sangat tinggi. Makanya harus kontrol terus," kata Gita.
Ada beberapa faktor risiko pasien akan mengalami AMD. Usia menjadi faktor risiko utama. Sepertiga orang dewasa di atas 75 tahun mengalami AMD. Orang yang merokok bisa meningkatkan peluang terkena AMD 2-5 kali lipat. "Karena retina memiliki tingkat konsumsi oksigen yang tinggi, apa pun yang mempengaruhi pengiriman oksigen ke retina dapat mempengaruhi penglihatan. Merokok menyebabkan kerusakan oksidatif, yang dapat berkontribusi pada perkembangan dan perkembangan penyakit ini.
Bila seseorang memiliki riwayat keluarga AMD, maka peluang terkena penyakit itu pun akan semakin besar. Biasanya, perempuan lebih mungkin terkena AMD daripada laki-laki. Faktor ini mungkin karena perempuan hidup lebih lama dari laki-laki, dan dengan demikian memiliki lebih banyak waktu untuk mengembangkan penyakit. Dari segi ras, kaukasia lebih mungkin terkena AMD daripada ras lain karena faktor genetik atau pigmentasi. Paparan sinar matahari berkepanjangan juga dapat merusak retina dan meningkatkan risiko AMD.
Gaya hidup yang tinggi lemak, kolesterol dan makanan indeks glikemik tinggi, dan rendah antioksidan dan sayuran berdaun hijau juga lebih mungkin untuk terkena AMD. Pasien dengan obesitas dan tidak aktif bergerak juga berisiko terkena penyakit mata ini. Tekanan darah tinggi bisa menyebabkan penyempitan pembuluh darah yang memberi nutrisi pada retina. Sehingga orang dengan tekanan darah tinggi bisa membatasi aliran oksigen ke retina yang mengakibatkan peluang terkena penyakit itu juga semakin tinggi. Penyakit AMD, yang dialami pada salah satu mata, juga bisa berkembang di mata yang lain.
Prevalensi AMD tahap awal di seluruh dunia pada pasien antara 45 dan 85 tahun adalah 8 persen dan AMD tahap lanjut adalah 0,4 persen. Hampir 288 juta orang diperkirakan memiliki AMD pada tahun 2040. Indonesia, sebagai salah satu negara dengan jumlah penduduk yang mengalami gangguan penglihatan terbanyak selain Cina, India, Pakistan, dan Amerika Serikat, perlu memberikan perhatian lebih atas penyakit AMD ini.
<!--more-->
Jumlah lansia di Indonesia diprediksi akan terus meningkat menjadi sekitar 20 persen pada tahun 2040, selanjutnya pada tahun 2050 jumlah lanjut usia diprediksi mencapai 74 juta atau sekitar 25 persen dari total penduduk. Artinya risiko meningkatnya AMD di Indonesia juga tinggi. Ketua Umum Perhimpunan Dokter Spesialis Mata Indonesia (PERDAMI) Pusat M. Sidik mengingatkan bahwa AMD merupakan salah satu penyakit mata yang perlu mendapatkan pengobatan sedini mungkin. Oleh sebab itu, dalam rangka Hari Penglihatan Sedunia (World Sight Day/ WSD) 2021, ia ingin mengingatkan akan pentingnya kesehatan mata, yang berdampak pada pendidikan, pekerjaan, kualitas hidup, hingga kemiskinan. "Saya mewakili seluruh dokter mata di Indonesia dalam PERDAMI, mengajak para pemangku kepentingan (stakeholders): pemerintah, perusahaan, institusi dan individu, untuk secara aktif mendukung akses kesehatan mata yang universal. Perlu dipastikan bahwa semua orang mendapatkan akses layanan mata tanpa pengecualian (“everyone counts”), termasuk populasi lanjut usia (lansia),” katanya.
Gangguan penglihatan dan kebutaan akibat AMD sangat menurunkan kualitas hidup lansia, yang sebetulnya perlu tetap aktif dan berkontribusi dalam masyarakat. “Gangguan terjadi secara perlahan dan progresif, sehingga memerlukan pemantauan ketat, serta kontrol dokter dan pengobatan berkala. Walaupun situasi pandemi Covid-19 memang menyulitkan, kami menghimbau agar pasien AMD khususnya, tetap memiliki semangat dan tidak takut untuk ke rumah sakit guna mendapatkan pengobatan sehingga tidak terjadi kondisi penglihatan yang memburuk,” kata Sidik.
Head of Medical Pharmaceuticals PT Bayer Indonesia Dewi Muliatin Santoso menambahkan bahwa Bayer mendukung upaya yang dilakukan oleh PERDAMI dalam meningkatkan kepedulian terhadap AMD. "Sejalan dengan visi Bayer: Health for All, Hunger for None, kami berkomitmen untuk meningkatkan kesehatan dan kesejahteraan pasien dan keluarganya melalui penelitian dan pengembangan inovasi pengobatan untuk penyakit, termasuk penyakit Degenarasi Makula terkait Usia tipe basah (wet AMD)," katanya.
Dewi yakin kolaborasi dengan PERDAMI untuk meningkatkan pengetahuan dan kesadaran pasien dan keluarganya merupakan langkah penting dalam menangani penyakit AMD, yang memengaruhi kehidupan dari segala lini, seperti kualitas hidup hingga beban ekonomi masyarakat.
Gita mengatakan saat ini kondisi penyakit AMD pada pasien Emil Salim cukup terkontrol. "Penyakitnya stabil. Tidak ada tambahan titik dalam penglihatannya karena Pak Emil sudah mengikuti proses penyuntikan berkala," kata Gita. Walau dianggap stabil, Emil Salim tidak boleh berhenti kontrol minimal 3 bulan sekali. "Kalau kontrol 6 bulan sekali saja saya sudah was-was (penyakit AMDnya kambuh)," kata Gita.
Emil Salim yang sudah menginjak usia 91 tahun, mengingatkan bahwa tindakan pencegahan sebenarnya ada di tangan pasien masing-masing. Ia pun mengajak agar pasien dengan AMD percaya pada saran dan perintah dokter. "Trust the doctor, kalau disuntik, ya ikuti. Karena dia ahlinya. Juga harus disiplin periksa, periksa. Penyakit bisa dihindari, dengan pengecekan berkala," kata Emil Salim.
Edwin setuju dengan Emil Salim. Edwin mengatakan saat ini penglihatannya sudah lebih baik. "Penting tetap rutin lakukan pemeriksaan dan perawatan. Apapun kata dokter harus dijalankan. Saran dokter harus disuntik ya suntik, kalau operasi ya operasi," kata Edwin.
Baca: Selain Wortel, 6 Makanan Ini Juga Bermanfaat untuk Kesehatan Mata