Ini Dia Kampung Asal Tukang Cukur Rambut Para Pemimpin
Editor
Heru Triyono
Senin, 25 Mei 2015 20:14 WIB
TEMPO.CO, Garut - Dari zaman Orde Baru sampai sekarang, Kampung Parung, Desa Bagendit, Garut terus melahirkan pencukur para pejabat di posisi strategis. Dede Saefudin, bekas Kepala Desa Bagendit, misalnya, sempat menjadi tukang cukur pribadi Panglima Komando Pemulihan Keamanan dan Ketertiban di era Soeharto, yaitu Sudomo; dan juga mantan Panglima ABRI, Faisal Tanjung. “Saya memotong rambut Sudomo ya biasa saja, sama-sama kepala juga,” kata Dede, Selasa, 19 Mei 2015.
Menurut Agus Wahidin, pencukur Presiden Keenam Susilo Bambang Yudhoyono, laki-laki di Parung itu dengan gunting sudah seperti saudara kembar. Hampir semua pemuda bisa memotong rambut dengan baik. Mereka berlatih dengan mencukur rambut anak-anak, yang dibujuk dengan bayaran Rp 500 atau Rp 1.000. "Kalau bisa mengatasi anak-anak yang tidak bisa diam saja potongannya bagus, apalagi orang dewasa."
Setelah Indonesia merdeka, sebenarnya bibit pencukur di Desa Bagendit, termasuk Parung, sudah tampak. Marso, 81 tahun, generasi pertama pencukur asal Parung, mengatakan saat itu kegiatan mencukur hanya dalam kalangan internal keluarga dan tetangga terdekatnya. Belum untuk dikomersialkan.
Namun, sejak 1949, perkembangan tukang cukur di Garut mengalami perubahan karena aksi pemberontakan kelompok Darul Islam atau Tentara Islam Indonesia (DI/TII) pimpinan Kartosuwiryo. Setelah memproklamasikan Negara Islam Indonesia di Kecamatan Malangbong, Garut--sebelah timur Bagendit--selama belasan tahun kelompok Kartosuwiryo meneror masyarakat. Sehingga banyak warga mengungsi. "Antara 1949 hingga 1950-an warga Bagendit banyak yang hijrah," kata Dede.
Sebagian warga Bagendit memilih mengungsi ke daerah tetangganya, seperti Bandung. Untuk bertahan hidup, profesi yang dipilih adalah tukang cukur. Generasi pertama pencukur yang waktu itu mengungsi adalah Marso, yang datang ke Bandung pada 1954. Bayaran pertama kalinya sebagai tukang cukur adalah Rp 5 per kepala. Kemudian pada 1962 ia hijrah ke Kramat Tunggak, Senen, Jakarta. "Di Jakarta, per kepala Rp 750," kata Mang Nco--panggilan akrabnya--di rumahnya.
Ketika kami temui, Marso, yang memakai baju koko biru muda dan peci, sudah susah berjalan. Sembari bicara, di jemarinya sebatang rokok tak henti diisap. Ia mengatakan semua keturunannya adalah tukang cukur. Dimulai dari anak, cucu, bahkan sampai cicit. Total jenderal, anggota keluarga besarnya yang berjumlah 30-an orang semuanya hidup dari memotong rambut.
HERU TRIYONO