Utak-atik Otak Pasien Stroke

Reporter

Editor

Susandijani

Selasa, 24 Januari 2017 11:06 WIB

Suasana operasi di rumah sakit. medstak.com
<!--more-->

Menurut situs Internet Stroke Center, ada tiga jenis stroke yang umum terjadi, yakni stroke ischemic yang mencakup sekitar 87 persen kasus, stroke hemorrhagic (10 persen kasus), dan stroke subarachnoid (3 persen kasus). Stroke ischemic terjadi akibat tersumbatnya pembuluh darah ke otak. Sedangkan ketika pembuluh nadi pecah, yang terjadi adalah stroke hemorrhagic dan subarachnoid. Slater terkena stroke ischemic.

Di Amerika Serikat, setiap 40 detik, orang terkena stroke dan setengah dari 800 ribu orang berakhir lumpuh. Di Indonesia, berdasarkan Riset Kesehatan Dasar 2013, prevalensi stroke meningkat dari 8,3 per 1.000 penduduk pada 2007 menjadi 12,1 per 1.000 penduduk pada 2013. Jumlahnya sama banyak pada laki-laki dan perempuan. Yang memprihatinkan, stroke kini menjadi penyebab kematian utama di hampir semua rumah sakit di Indonesia. Angkanya mencapai 14,5 persen.

Baca juga:Mengenal Anthrax, si Penyakit dari Tanah

Andre Machado, Kepala Cleveland Clinic Neurological Institute, berharap penerapan teknik deep brain stimulation dapat menekan angka kelumpuhan bahkan kematian akibat stroke. Dengan menanamkan elektrode di otak, pasien diharapkan dapat kembali menggerakkan bagian tubuh yang lumpuh. “Tujuan kami adalah agar penderita stroke bisa beraktivitas seperti biasa,” ujar Machado, dua pekan lalu.

Teknik operasi ini cukup berhasil untuk terapi penyakit otak yang berhubungan dengan gangguan sinyal listrik, seperti epilepsi dan parkinson. Sedangkan untuk pasien stroke masih harus menunggu hasil uji tim dokter di Cleveland Clinic. Sebab, menurut Taruna, penyebab utama stroke bukan gangguan listrik melainkan gangguan saturasi oksigen, vaskularisasi, dan degenerasi sel saraf.

Namun Machado optimistis operasi dengan deep brain stimulation dapat menyembuhkan kelumpuhan akibat stroke. Ada perbedaan mendasar antara terapi motorik pada penderita parkinson serta distonia dan pasien stroke. Pada penderita parkinson, gerak berlebih yang terjadi diupayakan dihentikan. “Sebaliknya, untuk stroke, kita justru berusaha mengembalikan fungsi gerak itu. Ini tantangan besar,” kata dia.

Selama kurang-lebih 10 tahun, Machado dan timnya melakukan riset untuk mengetahui dampak deep brain stimulation terhadap penderita stroke. Penelitian dilakukan pada tikus. Dari hasil uji coba, mereka menemukan tikus yang menjalani operasi ini memiliki protein lebih banyak pada otak ketimbang tikus yang tak menjalani operasi. Jumlah sinapsis atau koneksi antar-sel saraf juga meningkat dua kali lipat.

Selanjutnya : Terapi dilakukan pada manusia
<!--more-->

Setelah sukses melakukan terapi pada tikus, pertengahan tahun lalu Machado dan timnya mendapat lampu hijau dari otoritas setempat untuk melakukannya pada manusia. Meski terapi fisik sudah semakin maju, masih banyak penderita stroke yang hidup dengan keterbatasan. “Fungsi motorik ada yang bisa kembali, tapi kerusakan otak tak bisa disembuhkan. Teknologi baru harus segera ditemukan,” ujarnya.

Slater adalah pasien pertama yang menjalani operasi ini. Begitu Slater menyatakan bersedia menjalani operasi, tim dokter di Cleveland Clinic langsung bekerja keras. Mereka menanamkan elektrode di otak yang berhubungan dengan bagian tubuh yang lumpuh. Elektrode itu dihubungkan melalui kabel ke baterai yang dipasang di bawah kulit dada. Bentuknya mirip alat pacu jantung. Rangsangan yang ditimbulkan oleh aliran listrik diharapkan dapat memicu proses penyembuhan pada otak.

Tiga pekan setelah menjalani operasi, Slater mengalami banyak kemajuan. Ia bisa mengangkat tangan kirinya setinggi bahu. Hanya, lantaran ini operasi otak, risiko perdarahan, infeksi, dan kegagalan penyembuhan setelah operasi kemungkinan sangat besar. Tim dokter pun terus memantau kondisi Slater. Terapi fisik tetap dijalani. Setelah tiga bulan, dokter akan mematikan elektrode tersebut untuk melihat apakah pengaruhnya tetap bertahan.

Meski sama-sama melakukan stimulasi terhadap bagian otak tertentu untuk penyembuhan disfungsi motorik, teknik deep brain stimulation, menurut Taruna, berbeda dengan metode optogenetik yang ia kembangkan. Sementara pada deep brain stimulation rangsangan dilakukan dengan memakai sinyal listrik, stimulasi pada optogenetik menggunakan cahaya dengan panjang gelombang tertentu. Sel neuron sebelumnya dimodifikasi secara genetik agar sensitif terhadap cahaya.

Optogenetik bisa mengontrol sistem saraf dengan jalan mengaktifkan atau menonaktifkan gangguan fungsi otak. Nantinya, optogenetik pengontrol sistem saraf ini bisa digunakan dalam berbagai gangguan otak, seperti kecemasan kronis dan gangguan stres, parkinson, skizofrenia, epilepsi, alzheimer, dan cerebral palsy.

FIRMAN ATMAKUSUMA (TIME, DAILY MIRROR, BBC)

Baca juga :
Antraks Ternyata Lebih Mudah Menyerang Pria
Minum Obat Harus Tepat. Ini Penjelasannya






Advertising
Advertising












Berita terkait

Dua Kubu Masyarakat Dalam Budaya Olahraga, yang Malas dan Ekstrem

1 hari lalu

Dua Kubu Masyarakat Dalam Budaya Olahraga, yang Malas dan Ekstrem

Banyak pula orang yang baru mulai olahraga setelah divonis mengalami penyakit tertentu.

Baca Selengkapnya

Rutin Aktivitas Olahraga, Apa Saja Manfaatnya?

6 hari lalu

Rutin Aktivitas Olahraga, Apa Saja Manfaatnya?

Olahraga bukan hanya tentang membentuk tubuh atau memperkuat otot

Baca Selengkapnya

Jokowi: Daerah Kepulauan Indonesia Kekurangan Dokter Spesialis

13 hari lalu

Jokowi: Daerah Kepulauan Indonesia Kekurangan Dokter Spesialis

Jokowi mengatakan kemampuan produksi dokter spesialis Indonesia hanya 2.700 per tahun.

Baca Selengkapnya

Mengapa Bayi Harus Diimunisasi?

15 hari lalu

Mengapa Bayi Harus Diimunisasi?

Bayi harus menjalani imunisasi karena beberapa alasan tertentu yang akan dibahas dalam artikel ini.

Baca Selengkapnya

6 Bahaya Bayi yang Tidak Diimunisasi

15 hari lalu

6 Bahaya Bayi yang Tidak Diimunisasi

Bayi penting untuk melakukan imunisasi secara rutin agar terhindar dari bahaya kesehatan mendatang. Lantas, apa saja bahaya bagi bayi yang tidak melakukan imunisasi?

Baca Selengkapnya

Konimex dan Indordesa Luncurkan Produk Baru Makanan Nutrisi FontLife One, Bidik Pasar Dewasa Muda

22 hari lalu

Konimex dan Indordesa Luncurkan Produk Baru Makanan Nutrisi FontLife One, Bidik Pasar Dewasa Muda

PT Indordesa-- anak perusahaan PT Konimex, meluncurkan produk makanan nutrisi dan perawatan kesehatan, FontLife One, di Kota Solo, Jawa Tengah.

Baca Selengkapnya

Aliansi Kecam Kehadiran Industri Plastik dan Kimia dalam Delegasi Indonesia untuk Negosiasi Perjanjian Plastik

23 hari lalu

Aliansi Kecam Kehadiran Industri Plastik dan Kimia dalam Delegasi Indonesia untuk Negosiasi Perjanjian Plastik

Kehadiran itu membahayakan tujuan perjanjian, yaitu mengatur keseluruhan daur hidup plastik untuk melindungi kesehatan manusia dan lingkungan.

Baca Selengkapnya

Sejak 2021, Jokowi 6 Kali Sampaikan Keresahan WNI Pilih Berobat ke Luar Negeri

23 hari lalu

Sejak 2021, Jokowi 6 Kali Sampaikan Keresahan WNI Pilih Berobat ke Luar Negeri

Presiden Joko Widodo atau Jokowi acap menyampaikan keresahannya soal warga negara Indonesia yang berbondong-bondong berobat ke negara lain, alih-alih dalam negeri.

Baca Selengkapnya

5 Penyebab Sulit Tidur pada Penderita Diabetes

24 hari lalu

5 Penyebab Sulit Tidur pada Penderita Diabetes

Ternyata lima masalah ini menjadi penyebab penderita diabetes sulit tidur.

Baca Selengkapnya

Penelitian Ungkap Pelet Plastik Daur Ulang dari Indonesia Mengandung 30 Bahan Kimia Beracun dengan Konsentrasi Tinggi

24 hari lalu

Penelitian Ungkap Pelet Plastik Daur Ulang dari Indonesia Mengandung 30 Bahan Kimia Beracun dengan Konsentrasi Tinggi

Proyek penelitian di 13 negara ini bertujuan meningkatkan kesadaran global tentang bahan kimia berbahaya dalam plastik daur ulang

Baca Selengkapnya