TEMPO.CO, Jakarta - Sekitar 93 persen anak di dunia yang berusia di bawah 18 tahun bernapas dengan udara terpapar polusi. Demikian berita terbaru dari Organisasi Kesehatan Dunia (WHO) dalam rilisnya pada 29 Oktober 2018.
Baca juga: WHO: Polusi Udara Membunuh 7 Juta Orang per Tahun
Disebutkan bahwa sebanyak 1,8 miliar anak di bawah 15 tahun dan 630 juta anak di bawah usia lima tahun, menghirup racun polusi setiap hari.
“Polusi udara adalah racun bagi jutaan anak dan menghancurkan hidup mereka,” kata Direktur General WHO Dr Tedros Adhanom Ghebreyesus dalam konferensi global pertama WHO terkait polusi udara dan kesehatan. “Ini tidak bisa dibiarkan. Setiap anak berhak untuk menghirup udara bersih, agar tumbuh dan memaksimalkan potensi mereka,”.
Anak menjadi sangat rentan karena bernapas lebih cepat dari orang dewasa dan menyerap lebih banyak polusi. Hal ini dapat mempengaruhi perkembangan saraf dan kemampuan kognitif anak. Polusi udara juga bisa memicu asma dan kanker pada anak. Bila terpapar tinggi, anak-anak berisiko sangat besar untuk menderita penyakit kronis, seperti kardiovaskular di kemudian hari.ilustrasi trauma anak (pixabay.com)
Di negara dengan pendapatan perkapita tinggi (HIC), 52 persen anak di bawah lima tahun terpapar PM 2,5 di atas ambang batas WHO. Angka ini mencapai 98 persen di negara berpendapatan perkapita rendah dan menengah (LMIC). Bahkan 600 ribu anak meninggal karena ISPA akut di 2016. ISPA merupakan penyumbang kematian anak terbesar hingga 50 persen di negara LMIC salah satunya Indonesia.
Di Indonesia, kebakaran hutan, kendaraan bermotor PLTU batu bara dan pembakaran biomassa menjadi salah satu penyebab polusi. Utara Jakarta merupakan wilayah dengan kadar udara terburuk, akibat industri, termasuk keberadaan PLTU di sana. Level PM 2,5 di Jakarta tiga kali lebih tinggi dari ambang batas WHO. Setidaknya 4 ribu anak meninggal setiap tahunnya karena penyakit yang berhubungan dengan polusi udara.
“Polusi udara merupakan penyebab stunting (kekerdilan) pada otak anak, mempengaruhi kesehatan mereka dengan cara yang lebih dari yang kami duga. Tetapi ada banyak cara langsung untuk mengurangi emisi polutan berbahaya, ” ujar Direktur Departemen Kesehatan Masyarakat, Lingkungan dan Kesehatan Sosial WHO Dr Maria Neira di kesempatan yang sama.