TEMPO.CO, Jakarta - Sejumlah skenario penerapan new normal atau tatanan normal baru tengah dipersiapkan, termasuk dalam dunia pendidikan. Namun, pelaksanaan kebijakan ini menimbulkan keresahan dan kekhawatiran para orang tua dan peserta didik, jika satuan pendidikan dibuka kembali dalam tahun ajaran baru 2020/2021 yang jatuh pada tanggal 13 Juli 2020.
Saat ini penyebaran virus Corona belum bisa dikendalikan. Penambahan pasien baru pun masih terbilang cukup tinggi. Tidak hanya pada orang dewasa, virus corona yang menyerang saluran pernapasan ini juga menjadi ancaman nyata bagi anak-anak.
Berdasarkan data dari Gugus Tugas Percepatan Penanganan Covid-19, persentase anak-anak usia 0 hingga 5 tahun yang terdampak Covid-19 mencapai 2,3 persen, sedangkan anak rentang usia 6 - 17 tahun mencapai 5,6 persen dari keseluruhan orang yang terindikasi positif Covid-19.
Deputi Bidang Tumbuh Kembang Anak Kementerian Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak, Lenny N. Rosalin, pihaknya menaruh perhatian besar terhadap kondisi tersebut.
“Kami terus melakukan koordinasi perlindungan anak dalam hal pemenuhan hak anak dan perlindungan khusus dalam situasi pandemi Covid-19 saat ini. Besarnya jumlah anak yang terinfeksi Covid-19 ini menjadi bukti anak-anak juga terancam dalam situasi ini,” tutur Lenny.
Dalam menghadapi kondisi new normal, ke depannya perlu dibuat penyusunan protokol penyelenggaraan pendidikan secara matang, terutama mempertimbangkan aspek pemenuhan dan perlindungan terhadap anak. Protokol teknis tersebut kemudian harus dikomunikasikan kepada semua pihak sehingga dapat memitigasi risiko yang mungkin terjadi.
“Perlindungan anak harus dilakukan di mana pun mereka berada. Hak anak merupakan hal yang paling utama. Sangat penting bagi pemerintah untuk membicarakan aspek pencegahannya," ujar Lenny.
Lenny berharap tidak ada satu pun anak Indonesia yang mengalami masalah dengan diterapkannya new normal di satuan pendidikan. Sementara itu, Ketua Satuan Tugas (Satgas) Covid-19 Ikatan Dokter Anak Indonesia (IDAI), Yogi Prawira, mengatakan anak-anak sebagai manusia juga memiliki hak dasar yang harus dipenuhi, yaitu hak untuk hidup, hak untuk mendapat kesehatan, dan hak untuk memperoleh pendidikan. Hak untuk hidup merupakan hal utama yang harus diprioritaskan.
“Jadi jangan terbalik, kita pastikan mereka bisa survive, bisa sehat dulu baru kita memikirkan tentang pendidikannya,” tegas Yogi.
Lebih lanjut Yogi menuturkan dalam masa transisi menuju new normal, pihaknya juga telah menyatakan kesiapan perwakilan IDAI di 34 provinsi dalam mendampingi Pemda melakukan asesmen teknis. Ketua Umum PB Ikatan Dokter Indonesia Daeng M. Faqih menuturkan new normal baru bisa dijalankan saat kurva penyebaran virus sudah menurun atau melandai dengan jumlah penambahan kasus di bawah 1 persen.
Penerapan new normal juga tidak bisa dilaksanakan secara nasional melainkan dibuat berdasarkan skala prioritas dengan pentahapan. Misalnya, daerah mana saja yang sudah masuk ke dalam kriteria, maka itu yang bisa didahulukan.
“Kalau masih tinggi-tingginya kayak Jawa Timur bahkan mungkin mau mencapai puncak, rasanya itu belum masuk ke dalam kriteria,” ujarnya.
Selain itu, aktivitas juga harus diatur sedemikian rupa, jangan langsung dibuka sekaligus. Misalnya saja aktivitas yang didahulukan seperti di tempat pekerja pabrik yang kawasannya terpisah dengan kawasan penduduk, lalu dibuka secara bertahap. Begitu pula ketika mal dibuka, jangan langsung sekaligus semuanya, harus ada pentahapan.
Hal lain, perlu dipersiapkan protokol kesehatan yang harus dipatuhi semua pihak, baik pemerintah, perusahaan, maupun masyarakat. Apalagi, saat ini belum ditemukan vaksin Covid-19 sehingga kedisiplinan masyarakat dalam mengikuti protokol kesehatan menjadi hal yang sangat penting.
“Sebelum vaksin ini ditemukan, kedisiplinan itu yang menjadi vaksin alami kita,” tuturnya.