TEMPO.CO, Jakarta - Berdasarkan Hasil Survei Status Gizi Balita Indonesia (SSGBI) Tahun 2021, daerah dengan jumlah balita stunting tertinggi adalah Jawa Barat sebanyak 1.055.608 anak, Jawa Timur 653.218 anak, Jawa Tengah 543.963 anak, Banten 294.862 anak, dan Sumatera Utara sebanyak 383.403 anak. Badan Kependudukan dan Keluarga Berencana Nasional (BKKBN) mengatakan besarnya populasi penduduk di suatu daerah dapat mempengaruhi tingginya jumlah anak yang mengalami kekerdilan atau stunting.
“Meskipun angka prevalensinya turun dan semakin kecil di bawah 20 persen tapi karena pengalinya besar, maka jumlahnya menjadi besar,” kata Plt. Deputi Bidang Pengendalian Penduduk BKKBN, Dwi Listyawardani.
Menanggapi kondisi banyaknya anak stunting dan gizi buruk di Indonesia, Dani menuturkan angka prevalensi anak yang mengalami stunting turun menjadi 24,4 persen pada 2021 setelah sebelumnya berada pada angka 27,67 persen. Angka prevalensi di sejumlah daerah juga turut mengalami penurunan. Meskipun bukan daerah tertinggal, populasi penduduk yang padat membuat daerah-daerah itu memiliki jumlah anak stunting yang cederung lebih banyak dibanding daerah lain.
“Kalau prevalensinya menurun harapannya menurun juga dari segi jumlah kasus. Jadi, angkanya 24,4 persen. Kemarin BPS sudah meng-update proyeksi penduduk Indonesia tahun ini mengalami kenaikan jadi 273 juta jiwa. Tapi, ada penambahan 2,5 juta jiwa, sebagian besar penambahan itu karena kelahiran,” jelasnya.
Menurut Dani, penambahan sebanyak 2,5 juta anak stunting itu banyak terjadi di Jawa Barat, Jawa Tengah, dan Jawa Timur. Hal lain yang menyebabkan jumlah anak stunting di suatu daerah menjadi banyak adalah terbatasnya layanan kesehatan, terutama pada masa kehamilan dan setelahnya.
Ia menjelaskan satu dari tiga anak usia 3-6 tahun tidak mengikuti kegiatan pengembangan holistik dan terintegrasi seperti dalam Bina Keluarga Balita (BKB) ataupun melakukan kunjungan ke posyandu. Hal itu terjadi karena kurangnya pengetahuan pada pengasuhan anak, termasuk melengkapi imunisasi dasar yang dapat menghindarkan anak dari berbagai penyakit, juga pemberian ASI eksklusif pada 1.000 Hari Pertama Kehidupan (HPK).
Dani menyayangkan tingginya angka stunting juga karena 60 persen balita di Indonesia tidak mendapatkan ASI eksklusif, juga makanan pendamping ASI yang layak dari ibu. Oleh sebab itu, sejumlah upaya dikerahkan oleh BKKBN. Beberapa di antaranya adalah menyusun Pendataan Keluarga Tahun 2021 (PK21) yang memiliki data keluarga agar target tepat sasaran, juga mendirikan Dapur Sehat Atasi Stunting (DASHAT) untuk memperkuat edukasi terkait gizi pada masyarakat.
Sedangkan hasil Studi Status Gizi Indonesia (SSGI) 2021 menyebutkan prevalensi anak yang mengalami badan anak sangat kurus ikut mengalami penurunan menjadi 7,1 persen dari 7,4 persen. Hanya saja, angka pada anak yang berat badan kurang justru mengalami kenaikan menjadi 17 persen dari 16,3 persen pada 2019.
Baca juga: Anak Pendek Belum Tentu Stunting, Simak Penjelasan Pakar