Lupa Kata Sandi? Klik di Sini

atau Masuk melalui

Belum Memiliki Akun Daftar di Sini


atau Daftar melalui

Sudah Memiliki Akun Masuk di Sini

Konfirmasi Email

Kami telah mengirimkan link aktivasi melalui email ke rudihamdani@gmail.com.

Klik link aktivasi dan dapatkan akses membaca 2 artikel gratis non Laput di koran dan Majalah Tempo

Jika Anda tidak menerima email,
Kirimkan Lagi Sekarang

Benarkah Puasa Intermiten Bantu Sembuhkan Kerusakan Saraf?

Reporter

Editor

Nurhadi

image-gnews
Ilustrasi diet intermitten fasting. Freepik.com/user14908974
Ilustrasi diet intermitten fasting. Freepik.com/user14908974
Iklan

TEMPO.CO, Jakarta - Penelitian terbaru menemukan puasa intermiten bisa membantu menyembuhkan kerusakan saraf. Penelitian yang dilakukan Imperial College London ini mencoba menggali kaitan puasa intermiten (intermittent fasting/IF) dan kerusakan saraf. Studi ini kemudian diterbitkan dalam jurnal Nature.

“Puasa intermiten sebelumnya telah dikaitkan oleh penelitian lain dengan perbaikan luka dan pertumbuhan neuron baru, tetapi penelitian kami adalah yang pertama menjelaskan dengan tepat bagaimana puasa dapat membantu menyembuhkan saraf,” kata penulis studi Simone Di Giovanni dari Departemen Ilmu Otak Imperial College London, dikutip dari Neuroscience News, Senin, 27 Juni 2022.

Menurut Di Giovanni, tidak ada pengobatan yang efektif untuk kerusakan saraf selain rekonstruksi bedah. Ini pun hanya efektif dalam persentase kecil. Hal inilah yang mendorong peneliti menyelidiki apakah puasa intermiten bisa membantu pemulihan.

Para peneliti lantas mengamati bagaimana puasa intermiten membuat bakteri usus tikus meningkatkan produksi metabolit yang dikenal sebagai 3-Indolepropionic acid (IPA). IPA diperlukan untuk regenerasi serabut saraf (akson) yang bertugas mengirimkan elektrokimia atau sinyal ke sel lain dalam tubuh.

Meski dilakukan pada tikus, penelitian ini diharapkan bisa berlaku untuk percobaan manusia di masa depan. Tim peneliti menyatakan bakteri yang menghasilkan IPA, Clostridium sporogenesis, juga ditemukan secara alami di usus dan aliran darah manusia.

Penelitian ini menilai regenerasi saraf tikus bernama ‘saraf skiatik’, saraf terpanjang dari tulang belakang ke bawah kaki yang dihancurkan. Sementara itu, setengah dari tikus menjalani puasa intermiten (dengan makan sebanyak yang mereka suka diikuti dengan tidak makan sama sekali pada hari-hari alternatif).

Sedangkan setengah tikus lainnya bebas makan tanpa batasan sama sekali. Diet ini berlanjut selama 10 atau 30 hari sebelum operasi mereka dan pemulihan tikus dipantau 24-72 jam setelah saraf terputus. 

Panjang akson yang tumbuh kembali diukur dan sekitar 50 persen lebih besar pada tikus yang telah berpuasa. Puasa intermiten ternyata bisa mengubah bakteri usus pada tikus sehingga memfasilitasi peningkatan kemampuan saraf rusak untuk pulih. 

Iklan
Scroll Untuk Melanjutkan

“Saya pikir kekuatan (penelitian) ini membuka bidang baru di mana kita harus bertanya-tanya, apakah ini puncak gunung es? Apakah akan ada bakteri lain atau metabolit bakteri yang dapat mendorong perbaikan?” ujar profesor Ilmu Otak ini.

Selain itu, para peneliti juga mempelajari bagaimana puasa intermiten menyebabkan regenerasi saraf ini. Mereka menemukan, ada tingkat metabolit spesifik yang secara signifikan lebih tinggi, termasuk IPA, dalam darah tikus yang dibatasi dietnya.

Tikus lantas diobati dengan antibiotik guna membersihkan usus mereka dari bakteri untuk mengonfirmasi apakah IPA menyebabkan perbaikan saraf. Tikus itu kemudian diberi strain sporogenesis Clostridium yang dimodifikasi secara genetik sehingga bisa atau tidak bisa menghasilkan IPA.

Ketika IPA tidak bisa diproduksi oleh bakteri ini dan hampir tidak ada dalam serum, regenerasi terganggu. Ini menunjukkan IPA yang dihasilkan memiliki kemampuan untuk menyembuhkan dan meregenerasi saraf yang rusak. 

AMELIA RAHIMA SARI

Baca juga: Apa Itu Intermittent Fasting?

Iklan



Rekomendasi Artikel

Konten sponsor pada widget ini merupakan konten yang dibuat dan ditampilkan pihak ketiga, bukan redaksi Tempo. Tidak ada aktivitas jurnalistik dalam pembuatan konten ini.

 

Video Pilihan


Tikus Sering Menjadi Hewan Percobaan, Ternyata Ini Alasannya

2 jam lalu

Ilustrasi tikus. mirror.co.uk
Tikus Sering Menjadi Hewan Percobaan, Ternyata Ini Alasannya

Biasanya, ketika melakukan penelitian dalam dunia medis, peneliti kerap menggunakan tikus. Lantas, mengapa tikus kerap menjadi hewan percobaan?


Kelebihan Punya Tinggi Badan Menjulang Menurut Penelitian

13 jam lalu

Ilustrasi pria bertubuh tinggi dan pendek. shutterstock.com
Kelebihan Punya Tinggi Badan Menjulang Menurut Penelitian

Selain penampilan, orang tinggi diklaim punya kelebihan pada kesehatan dan gaya hidup. Berikut keuntungan memiliki tinggi badan di atas rata-rata.


Selain Tikus, Inilah 4 Hewan yang Kerap Dijadikan Percobaan Penelitian

19 jam lalu

Kelinci yang menjadi alat uji ilmiah. shutterstock.com
Selain Tikus, Inilah 4 Hewan yang Kerap Dijadikan Percobaan Penelitian

Berikut beberapa hewan yang kerap dijadikan hewan percobaan dalam penelitian:


Begini Cara Menulis Artikel Ilmiah di Jurnal Terindeks Scopus

8 hari lalu

Ilustrasi jurnal ilmiah. Shutterstock
Begini Cara Menulis Artikel Ilmiah di Jurnal Terindeks Scopus

Jurnal terindeks Scopus menjadi salah satu tujuan para peneliti di Indonesia untuk mempublikasikan artikel ilmiah atau penelitiannya, bagaimana cara menulis artikel ilmiah yang terindeks scopus?


Pakar Ingatkan Bahaya Main Ponsel di Toilet

13 hari lalu

Ilustrasi pria menggunakan ponsel di toilet. buzznigeria.com
Pakar Ingatkan Bahaya Main Ponsel di Toilet

Penelitian menyebut kebiasaan main ponsel di toilet tentu saja tidak baik karena membuat tubuh lebih mudah terpapar bakteri dan kuman berbahaya.


Monash University Gelar World Health Summit, Demam Berdarah Hingga Penelitian Soal Obat Jadi Bahasan

16 hari lalu

Associate Professor Henry Surendra sebelumnya membahas kesenjangan pandemi dan kematian akibat Covid-19 di Indonesia/Monash University
Monash University Gelar World Health Summit, Demam Berdarah Hingga Penelitian Soal Obat Jadi Bahasan

World Health Summit akan pertama kali digelar di Monash University. Ada beberapa tema yang akan dibahas oleh peneliti, salah satunya, demam berdarah


Jelang Gerhana Matahari 8 April, Kenali Fenomena Gerhana Matahari Terlama di Alam Semesta

22 hari lalu

Penampakan gerhana bulan sebagian atau Parsial di langit Jakarta, Minggu, 29 Oktober 2023. Menurut Badan Meteorologi, Klimatologi dan Geofisika (BMKG) peristiwa gerhana bulan parsial terjadi saat posisi Bulan, Matahari dan Bumi sejajar membuat sebagian piringan bulan masuk ke umbra (bayangan gelap) Bumi sehingga saat puncak gerhana terjadi Bulan akan terlihat gelap sedikit kemerahan di bagian yang terkena umbra Bumi. ANTARA FOTO/Bayu Pratama S.
Jelang Gerhana Matahari 8 April, Kenali Fenomena Gerhana Matahari Terlama di Alam Semesta

Sistem yang disebut dengan kode astronomi TYC 2505-672-1 memecahkan rekor alam semesta untuk gerhana matahari terlama.


Memahami Gangguan Saraf Papiledema, Penyebab dan Gejala

23 hari lalu

ilustrasi periksa mata (pixabay.com)
Memahami Gangguan Saraf Papiledema, Penyebab dan Gejala

Papiledema adalah pembengkakan kepala saraf kedua yang terjadi secara bersamaan antara dua mata. Cek gejalanya.


Awas, Ini Tempat yang Diklaim Paling Berkuman di Kantor

25 hari lalu

Ilustrasi wanita bekerja di kantor. shutterstock.com
Awas, Ini Tempat yang Diklaim Paling Berkuman di Kantor

Beberapa titik bisa menjadi tempat berkumpulnya kuman dan bakteri di kantor sehingga Anda harus selalu menjaga kebersihan diri setelah menyentuhnya.


Publikasi Ilmiah Senasib Gunung Padang dan SNBP 2024 di Top 3 Tekno Berita Terkini

30 hari lalu

Publikasi hasil penelitian situs Gunung Padang Cianjur yang dicabut dari jurnal ilmiah Wiley Online Library. Istimewa
Publikasi Ilmiah Senasib Gunung Padang dan SNBP 2024 di Top 3 Tekno Berita Terkini

Seperti situs Gunung Padang, ada banyak laporan penelitian yang pernah dicabut dari jurnal ilmiah internasional. Cek asal negaranya yang terbanyak.