TEMPO.CO, Jakarta - Sampah tekstil menumpuk di TPA, laut, sungai, atau dibakar dan akhirnya berdampak buruk pada lingkungan. Pemerintah melalui Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK) pun menyusun regulasi tahap kedua Peraturan Menteri LHK Nomor 75 tahun 2019 yang mengatur tanggung jawab produsen atas produknya, mulai dari perencanaan pengurangan sampah, pelaksanaan, evaluasi, dan pelaporan. Dalam regulasi tersebut akan diatur secara khusus mengenai tanggung jawab produsen mengurangi sampah tekstil.
Produsen di bidang tekstil, mulai dari yang besar hingga pelaku UMKM, diminta untuk membuat peta jalan penanganan pengurangan sampah, seperti yang dilakukan produsen sektor makanan dan minuman, produk berbahan plastik maupun logam.
"Sekarang sudah ada 120 produsen yang menyampaikan konsep untuk mengurangi sampah dari proses produksi mereka dan ini nanti juga kita terapkan di sektor tekstil,” kata Direktur Pengurangan Sampah KLHK, Vinda Damayanti Ansjar, di Jakarta, Selasa, 8 Agustus 2023.
Vinda mengatakan pemerintah juga berencana memberikan penghargaan berupa insentif tambahan berupa modal usaha untuk mendorong pelaku usaha menerapkan pengurangan sampah dan melaporkannya melalui peta jalan.
“Karena saat ini kita baru sampai ke pemberian surat penghargaan, ke depan kita atur soal insentif,” ujarnya.
Masalah sampah tekstil ini turut menggerakkan hati desainer Chitra Subyakto. Melalui usaha fashion yang telah dirintis sejak September 2021, Chitra menyulap sampah tekstil atau pakaian tidak layak pakai menjadi produk fashion bernilai jual hingga jutaan rupiah.
“Masyarakat juga dapat mengirimkan pakaian dengan kondisi apapun, robek, bolong, kain perca, asalkan bukan bahan poliester bisa kami daur ulang. Itu bentuk kontribusi warga juga,” kata Chitra.
Sepanjang September 2021 hingga Mei 2023 pihaknya telah mengumpulkan sebanyak 5.719 kilogram pakaian bekas yang didaur ulang. Berbagai produk diciptakan mulai dari pakaian, tas, fiber penyekat, insulator, peredam suara, benang, kain, dan aksesoris. Produk fashion tersebut digunakan masyarakat, kalangan artis, bahkan sudah menyasar pelanggan internasional seperti Malaysia dan Singapura.
Kurangi sampah tekstil
Chitra mengajak masyarakat bersama-sama berkontribusi menekan jumlah sampah tekstil melalui tiga langkah sebagai konsumen cerdas untuk menjaga kelestarian lingkungan dan menyelamatkan generasi mendatang. Langkah pertama dilakukan dengan membeli pakaian yang bisa digunakan untuk jangka waktu panjang dan tidak kehilangan tren serta hindari bahan poliester karena tidak mudah terurai.
Kedua, tidak malu menggunakan pakaian secara berulang-ulang dan hal itu sudah mulai dikampanyekan oleh figur publik. Terakhir, tidak langsung membuang pakaian yang sudah rusak, tetapi diperbaiki.
“Kita juga bisa membuat arisan seperti tukar-tukar baju kepada sesama teman. Saya juga sering dapat lungsuran dari ibu, dari teman juga,” ujar Chitra.
Pengamat Lingkungan dari Institut Pertanian Bogor (IPB), Suprihatin, mengatakan sampah tekstil menjadi masalah yang harus segera diselesaikan pemerintah saat ini karena semakin banyak masyarakat membuang pakaian yang dinilai sudah tidak layak begitu saja.
“Kita bisa berkaca dari data sistem informasi KLHK. Pada 2021 ada sekitar 2,3 juta ton limbah sampah tekstil dihasilkan sementara yang didaur ulang hanya 0,3 juta ton,” paparnya.
Ia menyebut sudah saatnya pemerintah lebih masif bergerak dan meningkatkan sosialisasi terkait penanganan sampah tekstil seperti halnya sampah plastik, organik, maupun logam.
“Pengelolaan harus lebih baik lagi, termasuk juga mereview, menelaah teknologi yang bisa dipakai untuk mendaur ulang tekstil mengingat jenisnya juga bermacam-macam, serta menyediakan sarana pembuangan khusus,” tegasnya.
Pilihan Editor: Kisah Poppy Dharsono Bawa Kulit Garut ke Moscow Creative Week 2023