TEMPO.CO, Jakarta - Satgas Bencana Ikatan Dokter Anak Indonesia (IDAI) menyebut pentingnya mengajarkan anak mengambil keputusan tepat sejak dini dan dilatih mandiri sehingga tahu harus melakukan apa pada situasi kritis atau mendadak seperti bencana.
“Memang sebisa mungkin harus dilatih, saya melihat belum banyak keluarga yang melakukan ini,” kata dr. I Nyoman Arie Purwana M.Sc Sp.A (K) dalam media briefing "Menyiapkan Anak Siaga Menghadapi Bencana", Rabu, 20 September 2023.
Spesialis anak lulusan Universitas Udayana Bali itu mengatakan masyarakat perlu memahami pentingnya persiapan dan mitigasi dalam menghadapi bencana sebagai upaya mengurangi dan mencegah risiko akibat bencana. Mitigasi merangkap pengurangan dan mencegah risiko bencana sedangkan persiapan berkaitan dengan pendidikan dan pelatihan terkait bencana.
Ia mengatakan setiap rumah harus menyiapkan tas siaga bencana yang berisi air minum, surat-surat penting, makanan ringan, masker, uang, alat pertolongan pertama atau P3K, peluit, senter, dan lain-lain. Tas ini diperlukan untuk perbekalan setidaknya 2-3 hari karena biasanya dalam hitungan hari itu pertolongan sudah datang.
Warga dewasa maupun anak-anak harus ikut melibatkan diri dengan berpartisipasi dalam pelatihan kebencanaan seperti melindungi diri saat gempa harus merunduk, berlindung dan berpegangan dengan mencari tempat atau meja yang bisa melindungi diri dan kepala sampai setidaknya gempa berhenti. Selain itu tidak menggunakan lift jika berada di bangunan bertingkat dan mengikuti petunjuk evakuasi dan mengetahui lokasi yang aman, salah satunya sudut bangunan.
Usahakan tidak keluar rumah atau bangunan sampai gempa benar-benar berhenti kecuali di dalam justru membahayakan. Bila sedang berada di mobil dan gempa dirasa kuat, menepi dan segera keluar dari mobil, hindari tebing-tebing tinggi. Jika terjadi gempa, perlu untuk membekali diri dengan pengetahuan latihan dalam menghadapi gempa dan sejak awal membangun rumah atau gedung yang tahan terhadap gempa.
“Memang harus didesain bahwa rumah, tempat tinggal, gedung, atau bangunan apapun harus tahan terhadap gempa, khususnya jika tinggal di daerah yang memang rawan gempa, memperhatikan daerah rawan gempa ada di mana saja, diikuti aturan dari pemerintah mengenai penggunaan lahan dan sebagainya,” paparnya.
Hadapi kebakaran
Sementara untuk menghadapi kebakaran, Arie mengimbau untuk membaca peringatan yang disiapkan pengelola kawasan atau gedung dan mengetahui risiko apa yang bisa terjadi serta arah jalan keluar ketika terjadi bencana. Selain itu, jika melakukan aktivitas pembakaran sampah harus di tempat yang semestinya dan tidak sembarangan melakukannya.
Hindari melakukan pembakaran sampah saat cuaca panas dan berangin karena risiko menyebar akan lebih cepat. Kebakaran tidak hanya menyangkut bahaya dari api namun juga abu kebakaran. Efeknya pada anak dapat menimbulkan iritasi mata dan pernapasan.
“Kalau memang ada kebakaran yang masif maka jangan keluar rumah. Akses udara yang berasap kalau bisa jangan sampai ada alias ditutup, kemudian perlu filtrasi sehingga udara di dalam rumah itu bersih. Kalau mengalami keluhan, misalnya pada anak-anak ada riwayat asma, sakit paru lainnya, maka segera bawa keluar rumah dan lakukan pemeriksaan,” jelas Arie.
Dokter di RS Murni Teguh Tuban, Bali, ini mengatakan perlunya mencukupi cairan dan makan setelah terkena kebakaran dan menggunakan masker, khususnya N95. Ia juga mengingatkan jangan berlari karena berisiko menghirup banyak asap dan debu. Buat perencanaan yang matang untuk keluar dari daerah asap atau debu dan jangan lupa menyiapkan makanan dan obat-obatan.
Arie juga mengingatkan untuk selalu menyimpan nomor darurat saat menghadapi situasi bencana, seperti nomor Badan Nasional Penanggulangan Bencana (BNPB), pemadam kebakaran, kantor polisi, PLN, dan lain-lain. Kenali potensi bencana di masing-masing wilayah tempat tinggal dan lakukan mitigasi bencana untuk pencegahan risiko pada anak dan keluarga.
Pilihan Editor: Anak Kuliah dan Hidup Terpisah, Apa yang Paling Dikhawatirkan Orang Tua?