TEMPO.CO, Jakarta - Kereta api menjadi salah satu moda transportasi darat yang diminati masyarakat Indonesia. Alasannya karena kereta api menawarkan kenyamanan, kecepatan, dan harga tiket yang relatif terjangkau.
Namun, beberapa kejadian tabrakan yang dialami armada milik PT Kereta Api Indonesia (Persero) atau KAI menyita perhatian masyarakat. Terdapat beberapa warganet di media sosial yang bertanya-tanya, mengapa kereta api tidak melakukan pengereman secara mendadak untuk menghindari tabrakan yang sering terjadi di perlintasan atau rel kereta api.
“Gua gak nyalahin masinisnya, tetapi dia gak liat apa ya, ada orang di rel? Kan itu jalan gak ada apa-apa yang ngalangin juga. Terus dia gak berhenti gitu?” cuit akun X (Twitter) @istirahat*****, Minggu, 22 September 2024. Lantas, mengapa kereta api tidak bisa berhenti mendadak?
Penyebab Kereta Api Tidak Bisa Mengerem Mendadak
Pada 2023, Vice President Public Relations KAI Joni Martinus menjelaskan bahwa kereta api mempunyai karakteristik berbeda dengan moda transportasi pada umumnya. Menurut dia, kereta api secara teknis tidak dapat melakukan pengereman mendadak.
“Berbeda dengan transportasi darat pada umumnya, kereta api mempunyai karakteristik yang secara teknis tidak dapat dilakukan pengereman secara mendadak. Untuk itu, kami mengimbau masyarakat supaya lebih waspada dan berhati-hati sebelum melewati perlintasan sebidang,” kata Joni di Jakarta, Jumat, 21 Juli 2023, seperti dikutip dari Antara.
Joni mengungkapkan faktor-faktor penyebab kereta api tidak bisa berhenti mendadak, yaitu akibat panjang dan berat rangkaian. Dia menyebut, semakin panjang dan semakin berat rangkaiannya, maka jarak yang dibutuhkan kereta api untuk dapat benar-benar terhenti akan semakin panjang.
Di Indonesia, rata-rata satu rangkaian kereta api penumpang terdiri dari 8-12 gerbong dengan bobot mencapai 600 ton. Bobot tersebut belum termasuk penumpang dan barang bawaannya. Oleh karena itu, dibutuhkan energi yang besar untuk membuat rangkaian kereta api berhenti.
Selanjutnya, terkait dengan sistem pengereman, Joni mengatakan bahwa pengereman yang digunakan pada kereta api di Indonesia pada umumnya memakai sistem rem udara. Cara kerjanya adalah dengan mengompresi udara, lalu disimpan hingga proses pengereman terjadi.
Ketika masinis mengaktifkan sistem pengereman, udara tadi akan disalurkan melalui pipa kecil di sepanjang roda dan membuat friksi atau pergeseran pada roda. Friksi tersebut yang akan membuat kereta api berhenti.
Walaupun kereta api telah dibekali dengan rem darurat, lanjut dia, kereta api tetap tidak dapat berhenti secara mendadak. Sistem pengereman darurat tersebut hanya menghasilkan lebih banyak energi dan tekanan udara yang lebih besar untuk menghentikan kereta api lebih cepat.
“Jadi, meskipun masinis sudah melihat ada yang menerobos palang kereta api, kemudian melakukan pengereman, maka tetap akan membutuhkan suatu jarak pengereman supaya benar-benar berhenti. Hal inilah yang nantinya mengakibatkan kejadian tabrakan, jika jarak pengeraman tadi tidak terpenuhi,” ucap Joni.
Adapun faktor yang memengaruhi jarak pengereman adalah kecepatan atau laju kereta api, kemiringan atau lereng (gradient), jalan rel (datar, menurun, atau tanjakan), persentase pengereman yang diindikasikan dengan besarnya gaya rem, jenis kereta api (kereta api penumpang atau kargo), jenis rem (blok komposit atau blok besi cor), kondisi cuaca, dan faktor teknis lainnya.
Dia mengatakan, rem pada rangkaian kereta api bekerja dengan tekanan udara. Sistem kerja rem pada roda dihubungkan ke susunan silinder dan piston. Mekanisme yang mengurangi tekanan udara di kereta api akan memaksa rem mengunci dengan roda.
“Apabila tekanan dilepaskan secara tiba-tiba, maka akan mengakibatkan pengereman yang tidak seragam, sehingga rem bekerja lebih dulu dari pusat keluarnya udara. Pengereman yang tidak seragam tersebut dapat menyebabkan kereta api atau gerbong tergelincir, terseret, bahkan terguling,” ujar Joni.
Pilihan Editor: Pasca Kecelakaan di Karawang, KAI Ingatkan Lagi Bahaya Beraktivitas di Jalur Kereta Api