TEMPO.CO, Jakarta - Pemerintah telah menyatakan komitmen untuk menanggulangi penyakit tidak menular (PTM) seperti yang diamanahkan dalam Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 28 Tahun 2024 tentang Peraturan Pelaksanaan UU Nomor 17 Tahun 2023 tentang Kesehatan. Pencantuman informasi nilai gizi dan/atau batas maksimum kandungan gula, garam dan lemak (GGL) pada makanan olahan menjadi salah satu upaya pemerintah untuk mengendalikan PTM.
Dalam aturan yang tertuang pada Pasal 195, produsen diwajibkan untuk mencantumkan label gizi, termasuk kandungan GGL pada kemasan. Terkait labelisasi tersebut, pemerintah pusat memiliki tanggung jawab untuk menetapkan ketentuan mengenai informasi kandungan GGL, pesan kesehatan, dan label gizi depan kemasan pada pangan olahan.
Yayasan Lembaga Konsumen Indonesia (YLKI) pun mengingatkan pentingnya aspek pengawasan jika pemerintah nantinya resmi mengimplementasikan labelisasi kandungan gula, garam, dan lemak (GGL) pada kemasan pangan olahan sehingga kebijakan tersebut berdampak positif bagi konsumen.
“YLKI sangat setuju dengan adanya PP No. 28 Tahun 2024 (yang salah satunya mengatur labelisasi gizi). Artinya, itu melindungi masyarakat. Namun implementasinya seperti apa? Itu yang harus dimonitor,” kata Sekretaris Eksekutif YLKI, Sri Wahyuni, di Jakarta, Rabu, 23 Oktober 2024.
Tidak membaca label
Sri juga mengingatkan konsumen kerap tidak membaca label dengan baik sebelum memutuskan membeli suatu produk. Karena itu, pemerintah harus membuat ketentuan label makanan yang dapat melindungi konsumen, misalnya dengan menampilkan warna-warna tertentu yang sesuai tingkatan kandungan GGL pada bagian depan kemasan.
“Misalnya, ada tanda traffic light. Kalau tanda hijau berarti aman. Kalau sudah tanda oranye, ini bahaya, artinya kadar GGL tinggi. Karena konsumen malas baca, sudah lihat itu saja. Itu adalah bentuk negara untuk proteksi masyarakatnya,” paparnya.
Sebelumnya, Badan Pengawas Obat dan Makanan (BPOM) diberitakan sedang melakukan peninjauan terhadap ketentuan pencantuman pelabelan gizi pada bagian depan label (front of pack nutrition labelling/FOPNL) melalui penyusunan kebijakan format pencantuman nutrilevel. Deputi 3 BPOM, Elin Herlina, menjelaskan nutrilevel ini terdiri atas empat tingkatan (level A, B, C, dan D) yang menunjukkan level pangan olahan berdasarkan kandungan GGL.
Level A dengan kandungan GGL paling rendah, sementara Level D dengan kandungan GGL paling tinggi. Penerapan kewajiban pencantuman nutrilevel pada makanan olahan dilakukan secara bertahap. Untuk tahap pertama ditargetkan pada minuman siap konsumsi dengan kandungan GGL pada level C dan level D. Kewajiban penerapan nutrilevel juga akan dibuat sejalan antara pangan olahan yang ditetapkan oleh BPOM dengan makanna olahan siap saji yang ditetapkan oleh Kementerian Kesehatan (Kemenkes).
Pilihan Editor: Langkah Kemenkes Kurangi Kematian Akibat PTM lewat Layanan Berhenti Merokok