Keberadaan sabbe ini tak melulu menjadi bahan utama. Toto kadang mengaplikasikan sabbe hanya sebagai aksen pemanis. Seperti pada gaun dengan bawahan warna cokelat polos, lalu bagian atasnya berupa kemban dari renda dengan tumpukan manik. Pada bagian pinggang, barulah sabbe hadir dibentuk bak pita tapi berukuran besar. Ia menutupi bagian pinggul pemakainya.
Ada juga sabbe yang disulap menjadi blus wanita. Baju ini terlihat kasual dengan motif berliku-liku warna hijau dan kuning. Dipadukan dengan rok selutut warna merah pastel. Toto mengaplikasikan sabbe pada 20 karyanya malam itu.
“Ini membuktikan bahwa lipa’ sabbe tak hanya berfungsi sebagai sarung, tapi juga sudah dilirik dunia fashion,” kata Rusmayani Madjid, Kepala Dinas Pariwisata dan Ekonomi Kreatif, yang turut menonton peragaan busana tersebut. Tak hanya itu, bahan sutra juga bisa dibuat aksesori. Lalu, untuk pemakaian sehari-hari, baju-baju Toto bisa menginspirasi.
Warna-warni lipa’ sabbe ini telah menawan hati Toto. “Sarung sabbe ini warnanya bagus dan indah,” ujar Toto seusai acara. Warna-warnanya sangat sejalan dengan karya Toto yang banyak menggunakan warna-warna cerah dalam rancangannya.
Toto pertama kali menemukan sabbe saat mendatangi sebuah acara. “Seseorang memakainya, lalu saya tanya ini sarung apa, ternyata sarung khas Bugis-Makassar,” tutur pria kelahiran Jakarta, 49 tahun lalu, itu. Pada 2010, dia mengunjungi salah satu daerah perajin sabbe di Kota Sengkang. “Saya ke Sengkang sudah dua kali.”
Toto mengusung tema lokal global. Globalnya tergambar dari gaya bajunya, yakni gaya internasional. Lalu lokalnya, karena sang desainer menggunakan bahan lokal. Toto mengaku mempersiapkan karya-karya ini selama dua pekan. Dia memadukan kain sabbe dengan kain polos berbahan sifon dan kafeta.