TEMPO.CO, Surabaya - Usianya baru saja melewati separuh abad. Tapi gurat kecantikan masih terlihat jelas di wajahnya. Kebaya berwarna ungu-biru yang dipakainya semakin memancarkan wajah cerahnya. Perempuan berkerudung itu seperti ingin lebih menghayati makna Hari Kartini.
Perempuan itu adalah Erna Sri Wulandari, satu dari 27 lurah perempuan yang ada di Surabaya, Jawa Timur. Ditemui Tempo di kantor Kelurahan Nginden Jangkungan, Jalan Nginden Baru, Surabaya, Selasa, 21 April 2015, Erna menceritakan pengalamannya menjadi lurah srikandi.
Erna mulai menjabat lurah pada pertengahan Juli 2014. Kelurahan Nginden Jangkungan menjadi kantor perdananya. Sebelumnya, ibu dua anak ini menjabat Kepala Seksi Tata Pemerintahan Kecamatan Tenggilis Mejoyo selama sepuluh tahun. Erna mengawali kariernya sebagai pegawai negeri sipil di Departemen Penerangan pada 1985 hingga akhirnya instansi itu dilikuidasi pada 2000.
Memimpin 15.621 warga yang tinggal di sebelas rukun warga menjadi tantangan tersendiri bagi Erna, yang berstatus sebagai orang tua tunggal sejak 2007. Erna mengaku khawatir saat diangkat menjadi lurah. Tapi kekhawatiran itu sirna saat dia bertemu langsung dengan warganya dalam acara syukuran peringatan kemerdekaan Indonesia pada 16 Agustus 2014. Warga bahkan menyambutnya dengan antusias. Mereka ingin bersalaman sekaligus mengenal lebih dekat lurah perempuan pertama di Nginden Jangkungan itu.
Kesibukan berfoto bersama selalu mewarnai hari-hari Erna setiap kali dia terjun ke tengah masyarakat. "Pas saya juga seneng narsis, jadi ya diladeni aja warganya," kata ibunda Dimas Aryo Arumbinang, 26 tahun, dan Dinda Ayu Adelia, 20 tahun, ini.
Sebagai lurah perempuan, Erna bukannya tidak pernah mengalami kesulitan, terutama jika berurusan dengan tanah. Untungnya, di daerah Nginden Jangkungan tidak banyak tanah kosong yang disengketakan. Tapi Erna mengatakan tetap harus memahami masalah pertanahan yang selama ini memang belum dikuasainya.
Erna juga sempat mendapat protes dari warga. Bukan karena kecantikannya, tentu saja. Tapi lantaran Erna mengundang warga untuk menghadiri rapat pada pukul 18.00, bertepatan dengan waktu salat maghrib dan menjelang salat isya. Maklum saja, warga Nginden Jangkungan dikenal sangat religius. Mereka tidak akan mau beracara sebelum salat isya selesai. "Saya diprotes, 'Lurahnya itu enggak salat magrib, ta?' Akhirnya setelah itu kalau rapat selalu pukul 19.30 atau lebih," ujarnya.
AGITA SUKMA LISTYANTI