TEMPO.CO, Jakarta -Mengemis gampang mendatangkan uang. Bermodal pakaian kusut, wajah memelas, dan tak malu menengadahkan tangan, maka uang receh bisa didapat. Saking enaknya pekerjaan ini, maka pengemis dengan gampang ditemukan: di emperan toko, di jembatan penyeberangan, atau di persimpangan jalan yang ada lampu lalu lintasnya. Penghasilan mereka bisa mencapai puluhan atau ratusan ribu sehari. Tak aneh jika ada pengemis yang ditangkap petugas ketentraman dan ketertiban, dia memiliki tabungan hingga jutaan rupiah.
Di balik iming-iming gampangnya mengumpulkan rupiah dari kegiatan mengemis, toh masih banyak orang yang tak tergoda. Sebaliknya, mereka rela bekerja keras dengan hasil yang tak seberapa. Pak Nasrul misalnya. Bapak tua ini saban hari menenteng kamera dan menawarkan jasa foto di kawasan Rasuna Said, Kuningan, Jakarta Pusat. Atau, Pak Darmo (79), yang berjalan kali berkilo-kilometer di Ibu Kota untuk menawarkan jasa timbang badan dan tensi.
Hadirnya orang-orang yang giat dan ulet bekerja seperti Nasrul dan Darmo, mendorong sejumlah anak muda untuk mendirikan komunitas Ketimbang Ngemis.. “Awalnya ini gerakan mengapresi orang-orang yang punya kekurangan fisik, sudah tua, tapi tak mau meminta-minta,” ujar Yona Luverina, 20 tahun, admin Ketimbang Ngemis Jakarta saat ditemui Tempo, Selasa lalu.
Kegiatan yang berawal dari membagikan foto sosok inspiratif tersebut, yang sekaligus menjadi ajang promosi virtual, ternyata disambut banyak pihak. Mereka pun meminta agar bisa menjadi gerakan bersama di beberapa wilayah. Walhasil, mulailah didirikan gerakan Ketimbang Ngemis di sejumlah wilayah, termasuk regional Yogyakarta dan Jakarta. Di Ibu Kota, menurut Kurnia Nur Ramadhan (20), anggota tim lapangan Ketimbang Ngemis Jakarta (KNJ), sosok yang pantang mengemis dan rela bekerja keras gampang ditemukan.
Kegiatan komunitas KNJ selintas sederhana. Mereka mengumpulkan informasi yang diberikan masyarakat melalui media sosial, seperti twitter dan instagram @ketimbang.ngemis.jakarta, lalu melakukan verifikasi. Dalam sebulan, komunitas ini melakukan dua kali pertemuan. Di awal bulan, kegiatan berupa evaluasi kegiatan sebelumnya, sembari menyiapkan aktivitas baru. Adapun di akhir bulan, tim mereka turun untuk menyalurkan bantuan kepada 10 orang terpilih dari hasil pendataan dan verifikasi data. “Maunya bisa membantu semuanya, tapi hingga saat ini masih banyak keterbatasan. Jadi, kami batasi 10 orang setiap bulannya,” kata Yona.
Sepuluh orang yang dipilih, menurut mahasiswi Politeknik Kesehatan Jakarta 2 ini, berdasarkan beberapa kriteria. Antara lain, mereka yang sudah lanjut usia, memiliki keterbatasan fisik, memiliki tanggungan jiwa yang banyak, pendapatan minim, dan tempat tinggal tak layak.
Selain dalam bentuk uang, biasanya sumbangan yang diberikan berupa sembako dan kebutuhan untuk berdagang, seperti gerobak. Sebagian sumbangan itu berasal dari donasi. Adapun untuk operasional sehari-hari, mereka merogoh kocek masing-masing.
Survei atau verifikasi ulang informasi untuk menerima bantuan menjadi salah satu tantangan bagi tim KNJ. Sebab, tak mudah untuk bisa segera menemukan sosok yang diinformasikan saat dicari di lapangan. “Apalagi kalau berjualannya pindah-pindah,” kata Dadan, anggota komunitas yang bertanggung jawab mencari tahu informasi lengkap dari sosok-sosok yang direkomendasikan melalui media sosial tersebut. “Pernah seharian keliling, muterin Tanah Abang enggak ketemu yang dicari,” ucapnya.
Kesulitan itu tak membuat Dadan dan kawan-kawannya putus asa. Niat baik untuk menolong sesama membuat mereka semangat mencari hingga ketemu. Keberadaan sosok-sosok seperti itu memacu dirinya agar tak patah semangat, apalagi bermalas-malasan selagi muda. “Kadang kuliah aja males, tapi ini ada orang sudah tua masih kerja setiap hari demi sesuap nasi. Yang muda harusnya malu,” ujar Dadan.
Dibentuk sejak Juni 2015, hingga saat ini komunitas Ketimbang Ngemis Jakarta beranggotakan 69 orang. Masing-masing dibagi lagi dalam beberapa divisi. Kegiatan yang digerakkan banyak anak muda ini tak menutup kemungkinan orang dewasa untuk ikut bergabung. “Anggota kami ada yang dari usia belasan sampai di atas 40 tahun. Kami sangat terbuka, tak ada batasan usia,” ungkap Yona.
“Katakan tidak pada mengemis, belilah walau tak begitu membutuhkan,” demikian semangat yang diusung komunitas ini. Mereka berharap bantuan yang diberikan bisa memberikan semangat dan membantu sosok seperti Darmo, Nasrul, dan banyak sosok lainnya bisa memperbaiki kehidupannya.
AISHA SHAIDRA