TEMPO.CO, Surabaya - Penulis buku Anakku Bertanya tentang LGBT yang juga pendiri Yayasan Peduli Sahabat, Agung Sugiarto, menilai lesbian, gay, biseksual, dan transgender (LGBT) semakin luas karena kondisi masyarakat yang tidak ideal.
“Saya melihat ini sebagai krisis karakter ayah di keluarga. Fatherless country,” katanya saat dihubungi Tempo, Jumat, 19 Februari 2016.
Agung menuturkan mayoritas laki-laki atau ayah yang hampir seharian penuh bekerja menyebabkan mereka tak sempat berinteraksi dan mendidik anak laki-lakinya. Dengan demikian, si anak laki-laki setiap hari bertemu dengan ibu atau perempuan. "Mereka lalu mengambil role model atau model contoh karakter dari ibunya saja,” dia menganalisis.
Pemaksaan dalam mengambil teladan itu, kata Sinyo—sapaan Agung—biasanya disebabkan beberapa hal. Seperti broken home, ketidakharmonisan keluarga, dominasi ibu, dominasi ayah, dan kekerasan rumah tangga. “Mau mengelak bahwa keluarga harmonis, itu bullshit. Diselidiki saja, pasti ada masalah pada masa kecil. Sekitar 60 persen klien kami mengalami ini,” ujarnya.
Penyebab lain seseorang memiliki ketertarikan terhadap sesama jenis adalah sikap overprotektif dari keluarga. Sikap terlalu dimanjakan atau dilindungi cenderung dialami oleh anak bungsu, tunggal, satu-satunya jenis kelamin dalam keluarga. Mereka, misalnya, dianggap paling ganteng atau cerdas. "Kami menerima klien sekitar 30 persen seperti itu."
Sinyo berkisah tentang kliennya, seorang perempuan yang merupakan anak bungsu. Semua kakaknya laki-laki. Kedua orang tuanya berkecukupan, tapi ia dibiarkan bermain apa pun ala lelaki. Dari layang-layang, panjat tebing, sampai menggoda perempuan. Dengan demikian, dia jatuh cinta kepada sesama perempuan saat SMP.
“Sekarang, setelah didampingi, ia sudah menikah, punya suami-anak, dan bahagia. Solusi bagi lesbian lebih mudah; cari laki-laki yang klik di hati,” tuturnya, yang tak meyakini ada faktor genetis yang menyebabkan seseorang menjadi LGBT.
Sinyo pun menyarankan agar masyarakat tak reaktif dan bertindak gegabah dalam menyikapi kalangan LGBT. Ia menegaskan masyarakat harus bijak. Dia lebih setuju koridor hukum serta hak asasi manusia. “Kita memang berhak memberi reaksi, tapi dengan cara yang bijak,” ucapnya.
ARTIKA RACHMI FARMITA