TEMPO.CO, Jakarta - Latte factor merupakan istilah dari penulis finansial David Bach untuk sejumlah pengeluaran kecil untuk hal yang sebenarnya tidak terlalu dibutuhkan tapi dilakukan berulang kali.
Ivy Wijaya, Head of Customer Segmentation & Marketing PermataBank, menyebutkan pengeluaran semacam itu meliputi kopi di gerai, air mineral botol, taksi, jajanan, biaya transfer antarbank, dan belanja barang-barang yang tidak dibutuhkan.
Bila dihitung, pengeluaran kecil ini sebenarnya bisa ditabung untuk keperluan lain yang lebih besar, misalnya mencicil tanah, rumah, atau kendaraan.
Baca juga: STOP Konsumtif, Ini Triknya
“Ada empat kategori gaya hidup,” kata Ivy. Pertama, broke alias besar pasak daripada tiang. Hidup bergantung pada utang dan tidak bisa menabung.
Baca Juga:
“Bukan berarti penghasilan kecil, ada yang penghasilan besar tapi terjebak konsumerisme,” kata dia.
Kemudian, kategori on edge, penghasilan pas-pasan dengan pengeluaran.
Ketiga, pragmatis. Pada kategori ini, orang bisa menabung 25-50 persen dari penghasilannya.
Terakhir, deep pocket, orang bisa menabung lebih dari setengah penghasilannya.
Berdasarkan data dari PermataBank, sembilan dari sepuluh orang mengeluarkan lebih dari Rp 900 ribu perbulan untuk latte factor.
Hal ini sejalan dengan hasil survei dari Share of Wallet oleh Kadence International Indonesia bahwa masyarakat Indonesia menabung rata-rata hanya 8 persen dari pendapatannya, sisanya digunakan untuk memenuhi kebutuhan sehari-hari termasuk di dalamnya hal-hal berupa latte factor.
Psikolog Ajeng Raviando mengatakan latte factor berhubungan erat dengan kepuasan sesaat di mana orang terdorong untuk mendapatkan apa yang ia inginkan saat itu juga.
Bila tidak terkontrol, tabungan bisa “bocor” dan gaji tiap bulan hanya numpang lewat.
Jadi, kenali apa latte factor Anda untuk mengetahui pengeluaran mana yang bisa ditekan agar bisa menabung untuk hal yang lebih penting.
ANTARA
Baca juga:
Populer Lewat YouTube? Yuk, Siapa Takut?
Bagi Generasi Milenial, Ngopi Lebih Penting ketimbang Nabung