Risiko Stroke Tinggi, Masalah Utamanya Kesadaran Minim Masyarakat
Reporter
Bisnis.com
Editor
Mitra Tarigan
Jumat, 13 April 2018 22:05 WIB
TEMPO.CO, Jakarta - Saat ini stroke sudah menjadi masalah utama kesehatan di Indonesia. Hasil survei pada 2014 menunjukkan bahwa stroke pernah menjadi penyakit nomor 1 paling berbahaya yang bisa dialami baik pria maupun wanita.
Kasus stroke juga semakin meningkat. Menurut data Riset Kesehatan Dasar (Riskesdas) 2013 prevalensi stroke di Indonesia sebanyak 12,1 per 1.000 penduduk. Sudah jauh lebih tinggi dari 2007 yang hanya 8,3 per 1.000. Apa yang menjadi persoalan tersulit? Ketua Kelompok Studi Perhimpunan Dokter Spesialis Saraf Indonesia Salim Harris menilai tantangan terbesar upaya menekan penyakit stroke di negara ini adalah tingkat kesadaran. "Yang paling susah untuk menekan stroke di Indonesia yaitu kesadaran. Kita udah bilang berkali-kali, jangan merokok, jangan merokok, tetapi merokok terus," ujarnya.
Baca juga:
Stop Kemasan Plastik atau Bahaya Ini Mengintai Kita
Mark Zuckerberg Dicecar Kasus Facebook, Ini Arti Bahasa Tubuhnya
Lelang Memorabilia Simpson, Kisah Cinta Raja yang Dikucilkan
Menurut Salim Harris, perlu ada hukuman bagi orang yang suka merokok dan akhirnya terkena stroke. Bisa saja hukuman itu berupa tidak mendapatkan pelayanan dari Badan Penyelenggara Jaminan Sosial Kesehatan. "Rokok merupakan faktor risiko terjadinya stroke," katanya.
Faktor risiko lain yang dapat mendatangkan stroke adalah hipertensi dan gaya hidup, salah satu contohnya adalah jarang berolahraga. Menurut dia, buruknya kesadaran menghindari risiko stroke di Indonesia dibandingkan dengan negara-negara lain di Asia, relatif sama. Namun kondisi itu berbeda jauh dengan di Eropa dan Amerika Serikat. "Kalau di Ameriak Serikat atau Eropa, kesadarannya berbeda sekali, sudah jauh lebih bagus. Kesadaran pergi ke rumah sakit juga lebih bagus. Bukan karena medisnya lebih canggih," katanya.
Dia tidak sepakat bila ada yang berpandangan bahwa teknologi dan pengetahuan medis di Indonesia kalah dari negara lain di Asia, termasuk Singapura. Dia menjamin kualitas teknologi dan ilmu medis Indonesia tidak kalah dari Singapura, khususnya dalam penanganan penyakit stroke.
Suatu ketika, dia mengikuti pertemuan dokter di Vietnam dan ketika itu dokter dari Singapura merasa kaget saat mengetahui bahwa Indonesia mampu melakukan tindakan door-to-needle alias penanganan pasien stroke sejak masuk rumah sakit sampai mendapat tindakan khusus dalam waktu tidak lebih dari 60 menit. "Mereka (Singapura) belum bisa. Namun memang seperti di Praha, Eropa Timur, di sana mereka bisa door-to-needle itu 8 menit. Kenapa? karena mereka populasinya sedikit sehingga semua data kesehatan mereka sudah terekam, computerized," katanya.
Mereka juga punya ambulans yang di dalamnya sudah ada CT-Scan. CT Scan adalah suatu prosedur yang digunakan untuk mendapatkan gambaran dari berbagai sudut kecil dari tulang tengkorak dan otak. Pemeriksaan itu perlu dilakukan sebelum dokter memutuskan tindakan yang akan diambil kepada pasien. "Jadi begitu pasien masuk ke rumah sakit, proses CT - Scan nya udah kelar," katanya.