Psikolog Sebut Dampak Sering Terpapar Polusi Udara bagi Kesehatan Mental
Reporter
Antara
Editor
Yayuk Widiyarti
Senin, 1 Juli 2024 20:20 WIB
TEMPO.CO, Jakarta - Pada 1 Juli 2024 pukul 08.00 WIB, IQAir mencatat Jakarta berada di peringkat empat kota paling berpolusi di dunia dengan konsentrasi PM2.5 sebesar 82 mikrogram per meter kubik atau berada pada kategori tidak sehat. Psikolog Patricia Elfira Vinny mengatakan selain dapat berdampak terhadap kesehatan fisik, paparan polusi udara terus-menerus dapat menyebabkan gangguan kesehatan mental seperti depresi, kecemasan, psikosis, dan demensia.
Selain itu, ada juga indikasi anak-anak dan remaja yang terpapar polusi udara terus-menerus pada tahap kritis perkembangan mental akan lebih berisiko mengalami masalah kesehatan mental di masa depan. Risiko ini jauh lebih mungkin dialami masyarakat yang tinggal di kawasan metropolitan seperti Jabodetabek.
"Hal ini karena penduduk di metropolitan cenderung memiliki kondisi psikososial yang lebih kompleks," katanya, Senin, 1 Juli 2024.
Merujuk pada studi yang dipublikasikan dalam PubMed Central, polusi udara berdampak pada berkurangnya tingkat kebahagiaan dan juga meningkatkan gejala depresi. Sedangkan studi yang diterbitkan di jurnal Environmental Pollution mengungkapkan relevansi antara peningkatan risiko depresi dengan paparan jangka panjang terhadap PM 2.5.
Patricia mengatakan kemacetan yang dialami setiap hari di tengah kualitas udara yang buruk hingga masalah finansial dan tekanan pekerjaan menjadi faktor pendukung yang membuat masyarakat di wilayah metropolitan dengan polusi udara tinggi lebih rentan terkena gangguan kesehatan mental. Menurutnya, apabila polusi udara berlangsung terus-menerus maka jumlah penduduk di Indonesia yang mengalami gangguan kesehatan mental akan berpotensi terus bertambah.
Konsultasi ke pakar
Data Kementerian Kesehatan mengungkapkan satu dari 10 orang di Indonesia telah mengalami gangguan kesehatan mental. Beberapa gejala awal gangguan kesehatan mental, terutama depresi, antara lain menurunnya kemampuan berkonsentrasi, rasa tidak tenang, ketidakmampuan membuat keputusan, hingga gangguan tidur.
Dalam jangka panjang, gangguan kesehatan mental akibat polusi udara yang tidak tertangani dengan baik juga berpotensi memicu bunuh diri. Studi National Bureau of Economic Research Cambridge mengungkapkan polusi udara meningkatkan jumlah kematian akibat bunuh diri hingga 0,49 persen pada kasus bunuh diri harian setiap peningkatan 1 gram per meter kubik PM 2.5 harian. PM 2.5 merupakan partikel polusi udara terkecil yang berbahaya bagi manusia karena tidak dapat disaring oleh tubuh.
Patricia menambahkan masyarakat perlu berkonsultasi dengan psikolog atau psikiater ketika merasa mengalami gejala-gejala awal gangguan kesehatan mental. "Untuk menjaga kesehatan mental di tengah kualitas udara yang buruk dan berbagai stressor lainnya, masyarakat diimbau tidak self-diagnose dan berkonsultasi dengan psikolog atau psikiater supaya mendapatkan penanganan yang tepat," jelasnya.
Pilihan Editor: Kualitas Udara Jakarta Buruk, Dokter Sarankan Anak Makan Banyak Buah