TEMPO.CO, Jakarta -Abed Nego Tonta, 69 tahun, lebih suka memungut biji biji kopi yang berserakan di tanah dibandingkan memetik kopi langsung dari pohonnya. Sebab, biji kopi yang berserakan di tanah ini istimewa. Biji kopi itu adalah “pilihan” mamalia hutan yang kebanyakan nokturnal alias aktif berkeliaran pada malam hari. Sebut saja tarsius –hewan endemik Sulawesi Tengah, tupai, kera, kuskus kerdil, tikus, juga kelelawar. Para hewan itu hanya menyantap daging kopi yang manis dan sudah masak, lalu melepeh atau membuang bijinya ke tanah. Warga lokal menyebut biji kopi pilihan ini toratima.
Tonta menjelaskan, toratima semula hanyalah konsumsi pribadi dan suguhan untuk tamu yang berkunjung ke Sigi. Kadang pula menjadi oleh-oleh khas daerah pelosok yang berjarak 6 jam perjalanan darat dari Palu, ibukota Sulawesi Tengah ini. Namun kini, toratima sudah keluar kampung. Kopi ini bahkan menjadi andalan warung-warung kopi di Palu. Toratima juga menjadi primadona di Festival Kreatif Kopi Palu, yang digelar 20-21 Mei lalu. “Kopi ini punya keunikan yang mesti terus kami perkenalkan,” kata panitia festival yang juga pengusaha kopi, Yoseph Gustaf. Baca: Hari Kopi Sedunia, Apa Saja Cita Rasa Kopi?
Kopi sudah menjadi komoditas utama di Kecamatan Pipikoro, Kabupaten Sigi, Sulawesi Tengah sejak hampir dua abad lalu. Direktur Yayasan Kemitraan Alexander Mering menjelaskan, pada tahun 1820-an masyarakat Sulawesi Tengah mulai bertani kopi mengikuti tradisi tanam yang diperkenalkan Belanda di Minahasa, Sulawesi Utara. Namun ketika itu, Belanda melarang warga lokal untuk menikmati buah kopi yang mereka tanam. Walhasil, warga pun mencari cara lain menikmati kopi dari kebun mereka. Yakni dengan mengolah biji kopi muntahan mamalia hutan yang berceceran di tanah perkebunan.
Setelah Belanda minggat dari Indonesia, kopi robusta masih menjadi komoditas utama di dataran tinggi Gempu, Pipikoro. Bahkan hampir 100 persen warga di sana bertani kopi, dan memasarkannya ke daerah lain dengan bantuan kuda. Baru pada 1990-an, krisis moneter mengubah kondisi perekonomian warga. Harga kopi merosot, sehingga membuat warga ramai-ramai mengganti tanaman mereka dengan kakao.
Sayangnya, kakao tak jodoh dengan tanah Pipikoro. Banyak tanaman ini yang mati dan rusak karena hama. Warga pun akhirnya kembali membudidayakan kopi robusta, atas pendampingan Kemitraan dan Karsa Institute. “Inisiatif kami dilihat dan akhirnya pemerintah desa dan pusat tertarik ikut membantu,” ujar Mering. Total ada 19 desa di Sigi yang mendapat pendampingan Karsa Institute dan Kemitraan sejak 2012. Baca: Hari Kopi Sedunia, Tip Meroasting Biji Kopi Sesuai Selera
Sebelum mendampingi warga untuk kembali membudidayakan kopi, Karsa dan Kemitraan terlebih dulu melakukan riset. Mereka menelisik proses produksi kopi oleh petani Pipikoro. Ternyata, proses bertani kopi warga sudah organik. Warga juga memperhatikan prinsip konservasi dengan menerapkan konsep agroforestry. Dengan konsep itu, kopi ditanam di sela pohon-pohon hutan, dan tidak mengganggu keberadaan hewan yang tinggal di sana.
Keuntungannya, mamalia hutan seperti kuskus dan tarsius tetap rajin menghasilkan biji-biji toratima yang berkualitas. Inilah yang kemudian menjadi fokus perhatian Karsa dan Kemitraan. Menurut Direktur Karsa Institute, Rahmad Saleh, , kopi toratima unik dan potensial menjadi saingan kopi dari kotoran hewan Luwak. Kopi Luwak sendiri sudah populer dan tergolong jenis premium di Indonesia dan bahkan dunia. “Namun warga di sana tidak ada yang menyadari betapa menariknya kopi toratima,” kata Rahmat.