TEMPO.CO, Jakarta -Kasus pelecehan seksual yang menyeret nama produser Hollywood Harvey Weistein mencuat di berbagai media nasional dan internasional setelah beberapa aktris wanita mengaku menjadi korban Harvey. Mungkin saja ada beberapa trauma dampak tuduhan itu yang dialami para korban wanita Harvey.
Psikolog Tika Bisono menyatakan, dampak psikologis yang dialami orang dewasa akibat kekerasan seksual lebih kompleks ketimbang anak-anak. Artinya, dampak yang muncul bisa beragam lantaran bergantung pada tingkat trauma korban. “Kompleksitas yang lebih tinggi itu biasanya tidak lebih sederhana dibanding anak-anak,” kata Tika saat dihubungi Tempo, Rabu, 18 Oktober 2017. Baca: Survei Membuktikan, Satu Dari 10 Pekerja Alami Pelecehan Seksual
Dampak yang muncul pada orang dewasa dapat lebih tinggi dari anak-anak. Sebab, kata Tika, orang dewasa sudah memiliki pemahaman ihwal kekerasan atau pelecehan seksual dan ada sikap melawan. Hal ini tak seperti anak-anak yang tidak menganggap berhubungan intim dengan laki-laki adalah pelecehan. Kecuali ada kejanggalan, seperti terjadi pemaksaan atau timbul rasa sakit. “Anak-anak tidak melawan dan tidak mengerti motif. Yang dia tahu sesuatu terjadi melalui alat kelaminnya,” tutur Tika.
Tika menjelaskan, tingkat trauma korban dapat diukur melalui jenis kekerasan seksual yang dialami. Kekerasan seksual itu biasanya dimulai dari sentuhan yang merangsang (erotis) hingga pemerkosaan. Tak hanya itu, intensitas mendapat perlakuan kekerasan seksual dan siapa yang melakukannya juga akan memengaruhi psikologis korban. “Lalu dia (korban) sendiri kepribadiannya seperti apa, karena ada orang yang menghayatinya enteng, ada yang dalam,” ujar Tika.
Meski begitu, penyembuhan trauma pada anak-anak ataupun orang dewasa yang menjadi korban kekerasan seksual adalah sama. Keduanya akan melalui tahap psikoterapi, seperti terapi kognitif, hipnoterapi, intervensi tertentu, dan rehabilitasi. Baca: Jika Anak Mengalami Kekerasan Seksual
Pada korban yang mengalami gangguan tidur, berperilaku histeris seperti berteriak, dan ingin bunuh diri akan diberikan pil penenang terlebih dahulu. Setelahnya, korban harus mengikuti tahap psikoterapi. Dalam kondisi yang tenang, lanjut Tika, korban diajak kembali untuk bisa mengendalikan dirinya sendiri melalui konseling verbal. “Jadi dia (korban) mengendalikan traumanya dan pada akhirnya bisa mencari solusi sendiri. Psikolog menggiring yang bersangkutan menemukan kekuatannya,” kata Tika.
Sementara untuk anak-anak, terapi dilakukan dengan perlakuan yang lebih menyenangkan. Misalnya, anak-anak diajak bermain, dibacakan dongeng, atau diajak menonton film. Keluarga pun masih menjadi faktor utama bagi proses penyembuhan anak. Tak seperti orang dewasa yang bisa lebih memerlukan sahabat atau orang lain yang dianggap paling mengertinya.
LANI DIANA