TEMPO.CO, Jakarta - Kasus bunuh diri sepertinya tak pernah membiarkan kita tenang dalam kehidupan sesehari. Selalu saja ada kisah yang pilu terjadi. Beberapa menyebutkan informasi yang berseliweran di internet bisa menjadi pemicunya. Benarkah?
Baca juga: Tidur Kurang dari 6 Jam Picu Risiko Bunuh Diri? Intip Risetnya
Kepala Koordinator Into The Light Indonesia, Benny Prawira, tak sepaham dengan itu. Disebutkannya bahwa akses ke informasi mengenai bunuh diri ini memang bisa digunakan untuk percobaan bunuh diri. Tapi dalam upaya mewujudkan pemikiran bunuh diri ke percobaan bunuh diri itu tak sekadar masalah pengetahuan dan akses ke metode aja, meski itu memang mendorong wujudkan si pemikiran bunuh diri itu.
“Masih ada lagi faktor, contohnya kepribadian yang impulsif. Ketika seseorang punya kepribadian impulsif, maka dia akan cenderung mewujudkan pemikiran bunuh dirinya ke percobaan bunuh diri,” ujarnya kepada TEMPO.CO, Jumat , 14 Desember 2018.
Benny juga menyebutkan bahwa pada kepribadian yang impulsifnya tinggi, dorongan untuk lepas dari rasa sakitnya itu sangat kuat dan tak bisa dikendalikan oleh orang yang bersangkutan,. “Semakin impulsif, semakin toleran rasa sakit, dan semakin tidak takut akan mati,” katanya.
Baca juga: Ramai Berita Bunuh Diri, Jangan Anggap Lebay Sebuah Keluhan
Menurut Benny, berbagai pencegahan sebetulnya bisa dilakukan. Terutama oleh orang tua. “Orang tua sebaiknya menjaga kondisi anaknya agar tidak depresif. Sehingga kalau lihat konten terkait yah tak langsung mikir ini cara yang baik untuk lari dari rasa sakit,” katanya.
Berikutnya, bagaimana caranya mencegah bunuh diri pada anak yang sudah mengalami depresi?