TEMPO.CO, Jakarta - Penyintas Covid-19 sangat mungkin terinfeksi varian Omicron. Dibandingkan dengan varian Beta dan Delta, potensi terinfeksi kembali akibat varian Omicron cenderung lebih tinggi.
Dilansir dari The Washington Post, ilmuwan dari Afrika Selatan mengungkapkan varian Omicron setidaknya tiga kali lebih mungkin untuk menginfeksi ulang seseorang yang sebelumnya pernah terjangkit COVID-19.
Analisis statistik menunjukkan setidaknya dari 2,8 juta orang yang positif COVID-19 di Afrika Selatan, 35.670 di antaranya mengalami infeksi ulang. Ilmuwan percaya bahwa kemampuan mutasi Omicron secara substansial dapat menghindari kekebalan yang diciptakan oleh infeksi sebelumnya.
Infeksi ulang yang terjadi saat varian Omicron merebak menyasar orang-orang yang pada gelombang sebelumnya pernah terinfeksi, terutama saat gelombang Delta. Faktor lain yang dapat memengaruhi potensi infeksi ulang adalah perilaku pribadi seseorang, tingkat ketaatan seseorang pada protokol kesehatan, dan tingkat imunitas.
Seorang ahli epidemiologi asal Afrika Selatan, Juliet Pulliam, mengungkapkan lewat Twitternya bahwa penting untuk mengetahui apakah varian Omicron berpotensi meningkatkan infeksi ulang. Hal ini dapat membantu negara-negara seperti Afrika Selatan dan Botswana yang memiliki tingkat vaksinasi rendah.
Pulliam mengungkapkan vaksin adalah jalan paling efektif yang dapat ditawarkan untuk mencegah keparahan penyakit hingga kematian akibat virus. Para ahli percaya dua dosis vaksin cukup untuk melindungi seseorang dari virus COVID-19. Meskipun varian Omicron dianggap bisa lolos dari beberapa manfaat vaksin, peneliti masih optimis akan proteksi yang ditawarkan vaksin.
Data dari Centers for Disease Control and Prevention (CDC) menunjukkan seseorang yang tidak divaksinasi empat belas kali lebih berpotensi untuk meninggal. Karena itu, prioritas ilmuwan saat ini adalah mengukur sejauh mana varian Omicron dapat lolos dari kekebalan tubuh baik kekebalan alami maupun dari vaksin.
DINA OKTAFERIA
Baca juga: Waspadai Rematik Autoimun pada Penyintas Covid-19